Kisah nyata ini tentang delapan preman
yang suka membuat onar dikampung halaman sebut saja kampung banyu.
Keberadaan mereka meresahkan kehidupan warga. Saat malam, mereka
'nongkrong' diwarung kopi. Itu bukan sekedar ngopi,melainkan untuk pesta
minuman. Mereka menghabiskan sepanjang malam dengan berjudi hingga pagi
hari.
Siangnya, mereka berkumpul
di pangkalan ojek. Mereka menggoda perempuan yang melewati pangkalan
itu. Tak jarang,mereka sering meminta uang pada tukang ojek dan
penumpangnya. Selebihnya,mereka berjudi ditempat itu. Dan ketika lapar
tiba,mereka pergi kepasar dekat kampung. Tujuannya,untuk meminta jatah
"keamanan". Begitulah kegiatan delapan preman itu sepanjang hari. Bisa
dibilang,mereka ditakuti warga kampung dan pasar.
Keberadaan
mereka itu dulu sangat meresahkan warga. Rusdi sebut saja demikian
merupakan pentolan kelompok preman ini. Dia dianggap sang komandan,
karena usianya lebih tua dari yang lain. Di antara rekan-rekannya,dia
paling ditakuti. Dia punya satu anak. Istrinya, pergi ke Arab Saudi
menjadi TKW. Sudah lama dia tidak pulang.
Seperti
biasa,malam itu Rusdi dan kawan-kawan berkumpul diwarung kopi. Dia
merasa aneh ketika melihat rekannya serius membicarakan sesuatu. Rusdi
pun menanyakan perihal pembicaraan mereka. Ternyata,mereka sedang
khawatir dengan rencana adanya pengajian di kampung itu. Seorang ustadz
baru, Syakir, beserta istrinya, Hajar, keduanya sebenarnya mempunyai
rencana hendak membuat kegiatan pengajian di kampung itu.
Rusdi
pun sedikit berang. Berita itu mengerutkan dahinya. Bagi Rusdi, hal
tersebut merupakan ancaman besar. Sebab, selama ini tak ada yang bisa
menghalangi keberadaan mereka. Dengan adanya pengajian, dikhawatirkan
gerak langkah mereka terganggu. Mereka mungkin tak bisa lagi berpesta
minuman. Banyak orang akan melarang mereka. Dan itu bisa menjadi
perlawanan kolektif.
Tanpa mereka
sadari,Syakir dan Hajar berjalan kaki melewati warung itu. Rusdi dan
rekan-rekannya lalu menghentikan pembicaraan. Perhatian mereka kemudian
tertuju pada kedua orang itu. Sepasang suami istri yang baru dua tahun
tinggal dikampung itu menyapa keberadaan mereka.
Tanpa
ragu, Rusdi kemudian menghampiri mereka berdua. Dia berdiri tepat
dihadapan mereka berdua. Syakir tak memiliki kecurigaan sedikitpun.
Bahkan,dia menyapa Rusdi dengan baik. Tapi,dengan mengacungkan jari
telunjuk,Rusdi lalu menanyakan perihal kabar akan didirikannya majelis
ta'lim itu. Benarkah? Pertanyaaan ini keluar dari mulut Rusdi.Syakir
menjawab dengan penuh hormat dan rendah hati. Dia dan istrinya memang
berencana membuat pesantren dikampung itu. Namun itu dilakukan secara
bertahap. Dia terlebih dulu mengadakan pengajian dan majelis ta'lim.
Rencana itu sudah mendapat restu dari pihak kelurahan dan tokoh
masyarakat setempat. Dia minta maaf karena belum meminta pendapat Rusdi
sebagai warga asli kampung itu.
Lalu,Rusdi
mengacungkan telunjuknya kearah Syakir. Dia tidak suka jika
dikampungnya ada pengajian. Dia melarang Syakir membuat majelis ta'lim.
Baginya,itu hanya membuang-buang waktu waktu. Dia lalu mengancam ustadz
dan ustadzah itu agar tidak melanjutkan rencana tersebut.
Jika
tidak menuruti ancaman Rusdi,mereka berdua akan mendapat risiko berat.
Tak tanggung-tanggung,Rusdi akan mengajak seluruh warga untuk mengusir
pasangan suami istri itu. namun Syakir dan istrinya tetap bersikap tegar
dengan ancaman tersebut. Sebab,dia mengadakan pengajian itu untuk
mengajak penduduk agar dekat dengan Tuhan.
Ancaman
yang diterima Syakir dan Hajar pada malam itu tak menyiutkan rencana
mereka sedikitpun. Dia dan istrinya tetap mengajak orang sekampung
untuk menghadiri pengajian. Tak diduga,para penduduk ternyata sangat
antusias menghadiri pengajian itu.
Rusdi
dan ketujuh rekannya merasa diremehkan. Dia kemudian menghampiri
pasangan ustadz itu kerumahnya. Namun sial,saat hendak mendamprat ustadz
dan ustadzah itu,Rusdi dan rekannya malah dihadang dan memperoleh
cercaan dari ibu-ibu dikampung itu. Alhasil,Rusdi dan rekannya malu
besar. Mereka kemudian menyusun berbagai rencana lagi untuk menggagalkan
kegiatan pengajian itu.
namun
sayang,setiap kali Rusdi dan ketujuh rekannya hendak meneror dan
menggagalkan kegiatan dakwah itu,mereka malah mendapat kesialan.
Misalnya,ketika malam hari mereka hendak memutuskan saluran kabel
listrik dimajelis ta'lim,diantara mereka malah ada yang kesetrum. Memang
sial.
Begitulah seterusnya.
mereka melakukan teror dan memfitnah kedua pasangan itu agar tidak
disukai warga. Namun sayang,Allah SWT,seakan berpihak pada kedua orang
tersebut. Sebab,lambat laun,majelis ta'lim yang didirikan itu terus
berkembang. Bahkan,setelah mendapat bantuan dana dari pemerintah dan
masyarakat,mereka mendirikan asrama khusus untuk santri yang hendak
mengaji kepada mereka.
Semakin
lama,lembaga pendidikan Islam itu kian berkembang.Dan keberadaan delapan
preman itu seakan hilang ditelan massa. Diantara mereka ada yang pergi
ke kota dan kerja keluar negri. mereka tidak mampu berbuat apa-apa
dengan semakin berkembangnya lembaga pendidikan itu. Jumlah mereka yang
semula delapan orang tetap tidak berubah. Sebab kepergian sebagian
rekannya,kemudian diganti dengan pemuda lain. Inilah kepandaian Rusdi
dalam mengajak pemuda setempat untuk masuk dalam kelompoknya.
Pesantren
Ustadz H,Syakir dan Hj.Hajar berkembang pesat. lembaga pendidikan
formal kemudian didirikan. Santrinyapun sudah mencapai ratusan orang.
Namun ditengah perjuangan dijalan Allah itu,Hj.Hajar meninggal dunia
diusia muda karena sakit. Innalillahi wa innaa ilaihi raajiuun.
Dia
meninggalkan suami tercinta dan kelima anaknya. Sebelum meninggal,dia
sempat berpesan kepada suaminya agar menikah lagi. Sebab,dia ingin
perjuangan suaminya terus dilanjutkan. Caranya,dia harus menikah agar
ada yang mendampingi setiap langkah perjuangannya. Almarhumah kemudian
dimakamkan ditanah wakaf dikampung itu.
Meninggalnya
Hj.Hajar ternyata membuat senang Rusdi dan ketujuh rekannya. Sebab
dengan demikian,permusuhan mereka dengan keluarga pesantren itu akan
dimenangkan oleh mereka. Ustadz H.Syakir akan merasa lemah jika
ditinggalkan istrinya.
Waktu
silih berganti. Tahun pun berganti tahun. Rusdi tetap saja Rusdi yang
dulu. Belum ada perubahan mendasar dalam hidupnya. Dia bahkan menjadi
kepala preman yang semakin ditakuti di kampung dan di pasar. Dalam
dirinya tak ada perubahan untuk kejalan yang lebih baik. Begitupun
dengan ketujuh rekannya.
Disisi
lain,Ustadz H.Syakir tetap sibuk dengan pesantrennya. Sesuai dengan
wasiat istrinya yang dulu,dia kemudian menikah dengan seorang wanita
salehah. Baginya,alm.Hj.Hajar merupakan inspirasi dalam kelanjutan
perjuangan hidupnya.
Lalu
singkatnya,30 tahun kemudian,Ustadz H.Syakir menjadi orang tua mulai
yang sakit-sakitan. Urusan pesantren dikelola oleh santri dan
anak-anaknya. Dan Rusdi pun kini seorang kakek. Ketujuh rekannya juga
menjadi orang tua yang tak pernah berhenti menjadi penguasa dipasar dan
kampung itu.
Ditengah sakit
keras, Ustadz H.Syakir berwasiat kepada anak-anaknya agar dia
dikebumikan dilingkungan pesantren jika meninggal. Dia ingin dikebumikan
dipesantrennya berdampingan dengan jenazah istrinya yang dulu. Dia
meminta agar jenazah alm. Hj.Hajar dipindahkan disamping kuburannya
kelak. Sebab,dia ingin seluruh keluarganya dikebumikan disatu tempat
yaitu dipesantren yang ia bangun. Kemudian,tibalah saatnya Allah SWT
mencabut nyawa Ustadz bersahaja itu.Innalillahi wa innaa ilaihi rajiuun.
Tak
lama setelah Ustadz H.Syakir dimakamkan,beberapa bulan kemudian ahli
warisnya menjalankan wasiat sang ayah. Mereka mengumpulkan seluruh
santri dan pemuda untuk mengeduk kuburan alm. Hj.Hajar dan memindahkan
jenazahnya dihalaman belakang pesantren. Dan berita tentang pengedukan
itupun tersiar ditelinga penduduk.
Warga
kampung sempat heboh. Berita itu cukup mengagetkan warga. Namun karena
itu merupakan wasiat dari tokoh ulama setempat,warga akhirnya menerima
keputusan ahli waris untuk membongkar kuburan itu.
Rusdi
dan ketujuh rekan-rekannya penasaran dengan berita itu. Mereka sempat
tertawa di pasar ketika mendengar kabar itu. Ada rasa geli dan jijik
membayangkan jika jenazah yang sudah menjadi tengkorak itu bisa
dipindahkan. Bagaimana mungkin tengkorak itu bisa dipindahkan. Yang
tersisa paling batang-batang tengkorak yang sudah rapuh dan penuh tanah.
Suatu
malam,Arigayo yang masih menjadi ketua pemuda kampung itu mendatangi
Rusdi dirumahnya. Dia mengajak Rusdi untuk ikut dalam pengedukan kuburan
Hj.Hajar. Sebab,bagaimanapun,Rusdi merupakan orang tua yang sangat
diperhitungkan dikampung itu.
Ajakan
untuk mengeduk kuburan itu kemudian Rusdi sampaikan kepada
rekan-rekannya. Ada rasa risih membayangkan tengkorak jenazah Hj.Hajar.
Namun,setelah dipikir panjang,dia kemudian menerima ajakan ketua pemuda
itu. Dengan catatan,dia hanya mau menghadiri saja. Biar anak-anak
buahnya yang ikut mengeduk kuburan.
Saat
hari pengedukan kuburan tiba,tidak banyak warga yang hadir. Hanya
beberapa pemuda dan orang tua saja. Lantunan kalimat tahlil
dikumandangkan para pelayat dilokasi kuburan. Sedikit demi sedikit,tanah
liatpun dicangkul. Rusdi hanya diam diantara kerumunan warga.
lima
orang pencangkul tiba-tiba berhenti. Dia ingin digantikan dengan orang
lain. Warga yang hadir meminta orang melanjutkan pengedukan. Dan Rusdi
tidak bisa mengelak saat diminta ketua pemuda dan warga sekitar untuk
mengeduk kuburan itu.Rusdi dan beberapa rekannya akhirnya ikut mengeduk
kuburan tersebut.
Rasa kebencian
Rusdi pada almarhum semasa hidupnya belum juga hilang. Dia masih
teringat,dia sempat dibuat malu besar karena dituding sebagai warga yang
jauh dari agama dan dijuluki sebagai pemabuk sejati. Ingatan itu belum
juga hilang dibenak Rusdi. Saat cangkul perlahan membongkah tanah
kuburan itu,dia masih belum rela dengan sikap almarhumah. Dendam
dihatinya belum juga hilang. Hingga kemudian,cangkulnya mengenai tepat
dibagian daging lengan jenazah.
MasyaAllah.
Yang mengenai cangkul Rusdi ternyata bukan tengkorak,melainkan daging
yang masih utuh. Semua penggali tertegun diam. Ada rasa aneh dan kagum.
Begitupun dengan Rusdi dan kawan-kawannya. Jenazah itu masih utuh dengan
beberapa helaian kafan yang juga masih utuh. Setelah jenazah
diangkat,ternyata memang benar jenazah itu masih utuh dan tidak rusak
sedikit pun.
Rusdi hanya diam dan
merasa aneh. Kok bisa,jenazah sudah lama masih utuh. Setelah jenazah
itu diangkat keatas,Rusdi diam sendiri disamping jenazah. Dia lalu
memisahkan diri dari kerumunan massa. Begitupun dengan rekan-rekannya.
Tanpa disadari,butiran air mata keluar dari kelopak mata Rusdi. Satu
kata yang keluar dari mulutnya. Astaghfirullahal adzim.
Dia
lalu bersimpuh ditanah. Selama ini dia merasa bersalah. Apa yang dia
saksikan adalah peringatan baginya dan rekan-rekannya. Dia kemudian
sadar bahwa apa yang dia lakukan selama ini adalah salah. Sekian tahun
dia telah bergulat dalam dosa dan maksiat. Dia kemudian mengumpulkan
rekan-rekannya untuk sadar bahwa minuman keras,berjudi dan merampas hak
orang dipasar merupakan perbuatan yang tidak halal. Apa yang disampaikan
almarhumah sekitar 30-an tahun silam kini diingatnya kembali. Usai
peristiwa itu,Rusdi dan ketujuh temannya kembali kejalan yang benar.
Mereka tidak lagi mabuk dan berjudi. Mereka juga meninggalkan pekerjaan
yang merampas hak orang lain dipasar. Semua itu dia tinggalkan.
Kini,Rusdi bekerja sebagai tukang ojek biasa. Meski penghasilannya
kecil,namun itu lebih baik ketimbang merampas hak orang lain. Begitu pun
dengan rekan-rekannya. Sebagian dari mereka mengikuti jejak Rusdi.
Bahkan,satu diantaranya menjadi santri dipondok pesantren milik alm..
Ustadz H.Syakir. Subhanalloh......
0 komentar:
Posting Komentar