BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kecenderungan untuk menikah dini
bagi mahasiswa muslim, nampaknya menunjukkan trend meningkat belakangan ini.
Sebab pernikahan dini dianggap bisa menjadi obat untuk mengatasi problem sosial
yang ada. Problem yang dimaksud, berkaitan dengan keberadaan gharizatun nau’
(naluri melangsungkan keturunan) pada diri mereka dalam konteks masyarakat
sekuler yang liberal. Problem ini lahir karena 2 (dua) faktor sosial : Pertama,
masyarakat sekuler yang liberal banyak menyuguhkan stimulus-stimulus yang
membangkitkan nafsu seksual, baik berupa kenyataan sosial yang buruk seperti
pergaulan bebas dan prostitusi, maupun sarana-sarana yang memanjakan syahwat
rendahan, seperti film, VCD, tabloid, novel, internet, dan sebagainya. Kedua,
adanya semacam kebijakan/program nasional yang “memaksa” para pemuda dan pemudi
untuk menunda usia pernikahannya, demi pembatasan jumlah penduduk. Karena
katanya jumlah penduduk yang banyak akan meningkatkan berbagai kebutuhan.
Sementara di sisi lain konon sumber daya untuk memuaskan kebutuhan itu sangat
terbatas.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana hukum menikah dan menikah dini?
2.
Bagaimana hukum yang bertalian dengan menikah dini?
3.
Bagaimana hukum menikah bagi mahasiswa yang mampu
menjaga dirinya?
4.
Bagiamana hukum menikah bagi mahasiswa yang tidak
mampu menjaga dirinya?
5. Bagaimana kewajiban menjaga pergaulan pria-wanita untuk menjaga kesucian jiwa (‘Iffah)?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui hukum menikah dan menikah dini
2.
Mengetahui hukum yang bertalian dengan menikah dini
3.
Mengetahui hukum
menikah bagi mahasiswa yang mampu menjaga dirinya
4.
Mengetahui hukum
menikah bagi mahasiswa yang tidak mampu menjaga dirinya
5. Mengetahui kewajiban menjaga pergaulan pria-wanita untuk menjaga kesucian jiwa (‘Iffah)
BAB II KAJIAN PUSTAKA
1.
Pendahuluan
Kecenderungan untuk menikah dini
bagi mahasiswa muslim, nampaknya menunjukkan trend meningkat belakangan ini.
Sebab pernikahan dini dianggap bisa menjadi obat untuk mengatasi problem sosial
yang ada. Problem yang dimaksud, berkaitan dengan keberadaan gharizatun nau’
(naluri melangsungkan keturunan) pada diri mereka dalam konteks masyarakat
sekuler yang liberal. Problem ini lahir karena 2 (dua) faktor sosial : Pertama,
masyarakat sekuler yang liberal banyak menyuguhkan stimulus-stimulus yang
membangkitkan nafsu seksual, baik berupa kenyataan sosial yang buruk seperti
pergaulan bebas dan prostitusi, maupun sarana-sarana yang memanjakan syahwat
rendahan, seperti film, VCD, tabloid, novel, internet, dan sebagainya. Kedua,
adanya semacam kebijakan/program nasional yang “memaksa” para pemuda dan pemudi
untuk menunda usia pernikahannya, demi pembatasan jumlah penduduk. Karena
katanya jumlah penduduk yang banyak akan meningkatkan berbagai kebutuhan.
Sementara di sisi lain konon sumber daya untuk memuaskan kebutuhan itu sangat
terbatas.
Kedua faktor itu bersinergi secara negatif menciptakan suatu kondisi yang
sangat menyiksa generasi muda. Betapa tidak. Di satu sisi banyaknya rangsangan
seksual membuat nafsu para pemuda bergejolak. Sementara di sisi lain terdapat
semacam opini umum yang mencela pernikahan dini akibat kampanye-kampanye yang
membosankan (dan tidak menyelesaikan masalah) bahwa usia pernikahan minimal
adalah sekian tahun. Resahlah para pemuda dan pemudi. Nah, dalam kondisi
demikian itu, wajarlah bila pernikahan dini dianggap sebagai obat yang
didambakan kawula muda.
Namun demikian, ulama menasehatkan bahwa “Al Ilmu qabla al-‘amal (ilmu
itu mendahului amal).” Maka untuk menjalankan pernikahan dini, seorang mahasiswa
muslim wajib memahami ketentuan Syariat Islam yang bertalian dengan pernikahan
dini. Sebab dalam Syariat Islam, seorang mukallaf wajib memahami hukum suatu
perbuatan sebelum melakukannya, sesuai kaidah syara’ :
Al ashlu fi al
af’al at taqayyudu bi al hukmi asy syar’i
“Hukum
asal dalam perbuatan-perbuatan (mukallaf) adalah terikat dengan hukum syara’”
(Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal.
19).
Kaidah
ini bermakna : perbuatan seorang muslim pasti mempunyai status hukum syara’,
tidak terlepas atau terbebas dari ketentuan hukum-hukum Allah, apa pun juga
perbuatan itu. Maka dari itu, seorang muslim wajib mengetahui hukum syara’ akan
suatu perbuatan, sebelum dia melakukan perbuatan itu, apakah perbuatan
itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram. Jika dia tidak mengetahui
hukumnya, wajib baginya bertanya kepada orang-orang yang berilmu. Firman Allah
SWT :
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.”
(TQS An Nahl : 43)
Dengan demikian, seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan yang dilakukannya. Jika perbuatan itu berkaitan
dengan aktivitasnya sehari-hari, atau akan segera dia laksanakan, hukumnya fardhu
‘ain untuk mempelajari dan mengetahui hukum-hukumnya.Misalnya seorang
dokter, maka dia wajib ‘ain untuk mengetahui hukum pengobatan, definisi hidup
atau mati, otopsi, dan sebagainya. Seorang pedagang, wajib ‘ain untuk
mengetahui hukum jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, dan sebagainya.
Seorang muslim yang akan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui
hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami
isteri, thalaq, ruju’, dan sebaginya.
Adapun jika perbuatan itu tidak berkaitan dengan aktivitasnya
sehari-hari, atau baru akan diamalkan di kemudian hari, hukumnya fardhu
kifayah mengetahui hukum-hukumnya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy
Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II, hal. 5-6). Misalkan seorang muslim
yang mempelajari hukum-hukum jihad untuk diamalkan pada suatu saat nanti
(tidak segera), maka hukumnya adalah fardhu kifayah. Demikian pula muslim yang
belum akan segera melaksanakan haji, fardhu kifayah baginya untuk
mempelajari hukum-hukum seputar ibadah haji. Termasuk hukum fardhu kifayah,
adalah menguasai ilmu-ilmu keislaman sampai pada tingkat ahli (expert),
misalnya menjadi ahli tafsir, ahli hadits, ahli ijtihad (mujtahid) dan
sebagainya (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz II,
hal. 6).
Mempelajari hukum-hukum nikah hukumnya adalah fardhu
bagi setiap muslim. Fardhu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya
di kemudian hari, dan fardhu ‘ain bagi yang akan bersegera
melaksanakannya dalam waktu dekat.
2.
Hukum Menikah dan Menikah Dini
Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :
“Maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki.” (TQS An Nisaa` : 3)
Perintah
untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan untukmelakukan nikah (thalab
al fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/keharusan (ghairu
jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku
al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung
keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib.
Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib
atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika
seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali
dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah)
dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud
kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah
syara’ :
Ma la yatimmul
wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika
suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib
juga hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah
Juz III, hal. 36-37)
Dapat
juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada yang haram,
seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan
membahayakan agama isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan :
Al wasilah ila
al haram muharramah
“Segala
perantaraan kepada yang haram hukumya haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Muqaddimah
Ad Dustur, hal. 86)
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan
usia tua, hukumnya menurut syara' adalah sunnah (mandub).
(Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hal.
101). Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Wahai
para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu
akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum
mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim) (HSA Al
Hamdani, 1989, Risalah Nikah, hal. 18)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah
bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal)
atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu tidak disertai
indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan
yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).
Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab)
menurut Ibrahim Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal.
470 adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia
dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar
rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul”
yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/spesifik bagi seorang laki-laki
(Ibid, hal. 332).
3. Hukum Yang Bertalian dengan Menikah Dini
Menikah dini hakikatnya adalah
menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar,
seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu hukum yang
berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua
pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari kondisi
khusus, seperti kondisi mahasiswa yang masih kuliah yang mungkin belum mampu
memberi nafkah secara layak.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat
sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih
paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
Pertama, kesiapan ilmu, yaitu
kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan,
baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah,
seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum
nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa
fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang
sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.
Kedua, kesiapan materi/harta. Yang
dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas
kawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada
isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah)
bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233,
dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta
secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada
isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun
kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf)
yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal
isteri seseorang dalam sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As
Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175).
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan
khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai
laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam
juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah
untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin
Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang
suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al
Islam, hal.163). Ini menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum
menikah.
Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum baik untuk yang menikah dini
maupun yang tidak dini. Sedang hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini dalam
konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah, adalah sebagai
berikut :
a.
Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban,
yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah
baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan
akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada yang haram meskipun tidak
menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat
(prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang
sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.
Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya tetap sunnah, tidak
wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan dua hukum tersebut (menuntut
ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan secara baik, tidak mengabaikan salah
satunya, disertai dengan keharusan memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan
di atas, yakni kesiapan ilmu, harta, dan fisik.
b.
Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak
dapat menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan terjerumus
kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar dia tidak dapat
menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan jalan menikah, maka hukum
asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syariat
:
Ma la yatimmul
wajibu illa bihi fahuwa wajib
“Jika
suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib
juga hukumnya.”
Hukum
menikah yang telah menjadi wajib ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya,
yaitu menuntut ilmu, sebab kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang
sama. Jadi ini memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah
wajib dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak
mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal),
manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa tersebut
memenuhi syarat-syaratnya, yaitu :
Pertama, kewajiban menuntut ilmu tidak
boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua
yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu
memelihara amanat dengan sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat
adalah dosa dan ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman :
“Dan
(orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.”
(TQS Al Mu`minun : 8)
Kedua, kewajiban yang berkaitan dengan
kesiapan pernikahan harus diwujudkan, khususnya kesiapan memberikah nafkah.
Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu memberi nafkah kepada isterinya
kelak secara patut dan layak, maka menikah saat kuliah tidak menjadi masalah.
Namun perlu diingat, bekerja memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak
sedikit. Perhatikan betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan
terbengkalai. Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak
mencukupi, atau tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkan karena
kesibukan kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab
mahasiswa tersebut berada dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz
hukman), maka dia wajib mendapat nafkah dari orang yang wajib menafkahinya,
yaitu ayahnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al
Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165). Syara’ telah mewajibkan seorang ayah
menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf
(layak).” (TQS Al Baqarah
: 233)
‘A`isyah
meriwayatkan bahwa Hindun pernah berkata kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah,
Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah
untukku dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi
SAW bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.”
(Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal.
166)
Sebenarnya
nafkah ayah kepada anak (walad) hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak
itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara
nyata/fisik (‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum
(‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak
cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah. Jika ayah tidak
mampu, maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat (al
‘aqarib) atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai
firman-Nya :
“Dan
warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS Al Baqarah : 233)
Ayat
di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf
(layak).” (TQS Al
Baqarah : 233)
Karenanya,
jika ayah tidak mampu juga memberikan nafkah, maka kewajiban ini berpindah
kepada kerabat atau ahli waris mahasiswa. Jika kerabat juga miskin atau tidak
mampu, sebenarnya Syariat Islam tetap memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya
menjadi tanggung jawab negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab negara dalam
Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang miskin yang menjadi rakyatnya
(Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal.
172).
4.
Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita Untuk Menjaga Kesucian Jiwa (‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah
secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa
dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat
dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :
1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki
maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan firman
Allah SWT :
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat’. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka
menahan pandangannya dan memelihara kemauannya." (TQS
An-Nur:30-31)
2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum
wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan
menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma'siyat
kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak
berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat,
supaya mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW
bersabda :
"Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula
yang haram telah jelas; dan diantara dua perkara itu terdapat syubhat yang
tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dengan
tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya, dan barang
siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang haram,
sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di
seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah
sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar
(batas) Allah adalah apa yang diharamkannya." (HR. Bukhari)
3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan
disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat 'iffah, dan
mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT berfirman :
"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah
menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada mereka
kemampuan dengan karunia-Nya." (TQS. An Nur : 33)
4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama
lain melakukan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat
adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita di suatu tempat yang
tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu kecuali dengan
izin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang
sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW :
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, maka hendaklah jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak
disertai mahram, karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan."
5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj, sebagaimana
firman Allah :
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti
(dari haidh dan mengandung) yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas
mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan
perhiasannya (bertabarruj)." (TQS. An-Nur : 60)
6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk
mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya
sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung (khimar) ke dadanya." (TQS An Nuur:
31)
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: 'Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." (TQS Al Ahzab:
59)
7). Islam melarang seorang wanita melakukan safar
(perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam,
kecuali apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada
Allah SWT dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali
bila disertai mahramnya."
8) Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus
hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria,
begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah
menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah tengah kaum wanita, sama
halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria.
Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian belakang dari shaf shalat
kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan para
wanita atau mahram-mahramnya. Wanita dapat melakukan aktivitas yang
bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu selesai hendaknya
segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-mahramnya.
9). Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama
antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan
hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan
pria yang bukan mahramnya, atau jalan jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama
dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya
dan kemaslahatannya, di samping untuk melaksanakan apa yang menjadi
kewajiban-kewajibannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari seluruh
uraian yang diuraikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut :
Pertama, Setiap muslim
wajib terikat dengan hukum syara’ dalam setiap perbuatannya, termasuk dalam
hal menikah dini.
Kedua, Menikah dan
juga menikah dini adalah sunnah.
Ketiga, Menikah dini
sunnah bagi mahasiswa yang masih dapat mengendalikan diri.
Keempat, Menikah dini
wajib bagi mahasiswa yang tidak dapat lagi mengendalikan diri.
Kelima, Menikah dini
dalam dua keadaan tersebut mensyaratakan adanya kesiapan ilmu, harta (nafkah),
dan fisik, di samping mensyaratkan tetap adanya kemampuan melaksanakan kewajiban
kuliah (menuntut ilmu).
Keenam, Islam telah
menetapkan hukum-hukum preventif agar para pemuda dan pemudi terhindar dari
rangsangan dan godaan untuk berbuat maksiat.
B.
Saran
Menikah
dini merupakan jalan bagi orang untuk tetap menjaga kesucian dirinya dari hal
yang berbau perzinahan. Namun alangkah baiknya jika menikah itu dipikirkan
secara masak-masak, karena menikah bukan hal yang sepele.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar