BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mengenal dua sumber
primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dan kedua al-Hadits.
Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut.
Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi,
sehingga terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada
perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan
spontanitas dan inisiatif para sahabat.
Hadits pada awalnya
hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan
Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang
pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits
dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi
ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada
tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW.
Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya
umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang
tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat
islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum
disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil
ketika Nabi Muahammad SAW. wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat
sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip
pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal
membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada
penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul
kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai
menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan
dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam
hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi
penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian
disebut dengan hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Menelusuri Hadist
Rasulullah
Minat yang besar para sahabat Nabi untuk menerima dan
menyampaikan hadist disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
· Dinyatakan secara tegas oleh Allah, bahwa
Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh
orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.
Allah berfirman:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
“ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. AL-Ahzab: 21)
· Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan
yang tinggi kepada mereka yang pengetahuan (ilmu Islam khususnya). Seperti yang
terdapat dalam Qur’an:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.
Nabi dalam melaksanakan
tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan
risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur
sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti
perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada
sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat
hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka
yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa
yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat
Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan
patuh pada perintah-perintah Nabi SAW.
Hadis yang diterima oleh
para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya
sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada
orang lain. Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri,
misalnya sebagai berikut:
‘Umar bin al-Kaththab
telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari
Nabi. Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari ini menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok
harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita
yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita
itu kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, para sahabat Nabi yang
kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh
hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi. Malik bin al-Huwayris
menyatakan
ا تيت ا
لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما ر ا ي
شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا ذاحضرت
الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)
Saya (Malik
bin al-Huwayris) dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami
tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang
dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga
kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian,
ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka.
Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah menyatakan:
ليس
كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ
نؤا يكذ
بؤ ن يؤ
مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب
Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis
Rasulullah saw. (Kerena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau
sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani
melakukan kedustaan (terhadap hadis Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan
terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang-orang yang tidak
hadir.
Pernyataan al-Bara’ ini
memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh sahabat tidaklah seluruhnya
langsung diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang diterima melalui sahabat
lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi kesibukan itu tidak
menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima
hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya
saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian, khotbah atau penjelasan terhadap
pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung
adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari
utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang
kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW.
Kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja
terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang,
Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan
memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang
lain.
Tidak ditulisnya hadits
secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis
hadits. Dalam sejarah penulisan hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis
hadits, diantaranya:
a. ‘Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M), shahifahnya
disebut Ash-Shadiqah.
b. Ali ibn Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis hadits tentang
hukum diyat, hukum keluarga, dll
c. Anas bin Malik
d. Sumrah ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e. Abdullah ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f. Jabir ibn ‘Abdullah al-Anshari (w. 78 H/697 M)
g. Abdullah ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan
hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat
pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis
ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga
mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti
kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi
menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal
keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri,
Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan
tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang
telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman
mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi
bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian)
dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi,
“bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”.
Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda :
Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata :
“Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah
seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh
‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan kewanitaan.
Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di
atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya kapada
istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti
ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10
H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan
ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait
dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para
sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik
ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi
menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya
suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki
yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya
kedalam gandum tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش
“Tidak termasuk golongan
kami orang yang menipu”.
Secara resmi memang Nabi
melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir campur antara hadits dan
Al-Qur’an. Jika prasarana yang sangat sederhana Al-Qur’an dan Hadits ditulis
diatasnya dalam bentuk satu catatan atau satu lembar pelepah kurma, sulit untuk
membedakan antara Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak hadits yang
melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak juga hadits yang perintah
menulisnya. Diantara hadits yang melarang penulisannya adalah sebagai berikut :
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda : “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa yang menulis dari
padaku selain Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)
Sedang Hadits yang
memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak sekali, diantaranya ialah :
Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan hadits Rasulullah
tetapi tidak hafal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia
memberitakannya. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW. Tentang hafalannya
yang minim tersebut, maka Nabi bersabda :
عل حفظك بيمينكاستعن
Bantulah hafalanmu dengan tanganmu (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua
versi yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat. Diantaranya mereka
berpendapat bahwa hadits yang melarang penulisan di hapus (di-nasakh) dengan
hadits yang membolehkannya. Lebih dari itu al-Bukhari berpendapat hadits
larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri mauquf pada Abu
Sa’id al-Khudri. Bahkan semua hadis larangan penulisan berkualitas dha’if, kurang
kuat dijadikan alasan. Dengan demikian penulisan hadits tetap diperbolehkan
bahkan diperintahkan dalam rangka memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah
islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Disamping itu, ketika
Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan
surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan
surat tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di
timur, utara dan barat, surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits-hadits
juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan
penulisan hadits dikalangan sahabat.
B. Periwayatan
Hadis pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat (11 H
= 632 M), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan
perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau
juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu
Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek
kehidupan umat.
kendali
kepemimpinan ummat islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang
pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634
M), kemudian disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman
bin ‘Affan (wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661
M), keempat khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’
al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada
masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40
H, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha
membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan
dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-‘iqlah min al-riwayah). Pada
sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang
mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati
dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
Berikut ini dikemukakan
sikap al- Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
Ø Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin
Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang
pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan
al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus
waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada
Khalifa Abu Bakar, memintah hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya.
Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi
yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya
kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa
nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan
petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegara menerima riwayat hadis,
sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta
kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat
berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis
yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal dia seorang sahabat yang telah
bergaul lama dengan dan sangat akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum
Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan,
bahwa sebab lain sehingga Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena:
(a) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan
hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya
dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Ø Umar bin al-Khaththab
‘Umar dikenal sangat
hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika ‘Umar
mendengar hadis yang disampaikan kepada Ubay bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia
menerima riwayat hadis dai Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya
Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang
dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah,
sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya
ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang
para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti
bahwa ‘Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar
tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a)
Agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar
perhatian masyarakat terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits
mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima
apabila diserta saksi atau setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah.
Pendapat ini menurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa
hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah
tertentu sering kali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang
tertentu, seperti hadits-hadits dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai
wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan
terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan, periwayatan
hadits diperlonggar.
Ø Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan
‘Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbedah dengan apa yang telah
ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah
setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan
khutbah, ‘Usman memintah kepada para sahabat agat tidak banyak meriwayatkan
hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan
‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua
Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati itu ingin dilanjutkan pada zaman
kekhalifahannya.
Dengan demikian, para
sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits.
Tradisi kritis dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli
tentang kebenaran dalam periwayatan hadits : pertama, para sahabat,
sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan
berhati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits
Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung
tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan
perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri
dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya. Kedua,
para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun
isi riwayat itu sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana dipelopori
oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits. Keempat,
para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah
dari periwayat hadits. Kelima, para sahabat menerima riwayat dari satu
orang yang terpercaya. Keenam, diantara para sahabat terjadi penerimaan
dan periwayatan hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi
atau perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga
tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin
al-Khathab juga pernah ingin mencoba menghimpun hadits tetapi setelah
bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata :
“sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah
menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian
mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah
sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang
lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin
al-Khathab dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh atau menyerupai
dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan
menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka
di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an
dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang
pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan
untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua
cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu :
1. Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka
hafal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh
asli dari Nabi SAW.
Pada masa ‘Ali r.a.,
timbul perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik politik antara pendukung
‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi tiga golongan :
1. Syi’ah,
pendukung setia terhadap ‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan
terhadap ‘Ali.
2. Khawarij,
golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok
yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian
mereka keluar karena tidak menyetuji perdamaian.
3. Jumhur
Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang
mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan
diri dalam kancah konflik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW.
Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu
hadits yaitu :
1. Melalui majelis al-‘ilm,
yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina
para jemaah.
2. Dalam suatu kesempatan
Rasulullah juga biasa menyampaikan haditsnya kebeberapa sahabat yang sempat
hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian hadits yang didapat itu kemudian
sahabat menyampaikannya lagi kepada sahabat lain yang belum sempat atau yang
pada saat itu tidak hadir dihadapan Rasulullah.
3. Untuk hal-hal yang
sensitif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan biologis, dan
yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri, Rasulullah
menyampaikanlmelalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitif Nabi SAW.
Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
4. Melalui hadits yang telah
Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, sehingga hadits-hadits tersebut cepat
tersebar di kalang masyarakat pada saat itu.
B. Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa
saran kepada pembaca:
1. Dalam memahami Islam hendaknya kita
bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal.
Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai
tuntunan perubahan zaman.
2. Hendaknya setiap orang tetap bersifat
terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal
itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi
semua.
3. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat
bagi segenap pembaca terutama kepada penulis atau penyusun sendiri. Amin yaa
Rabbal Alamiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail,M.Syuhudi., 1409 H/1988 M,
“Kesahihan Sanad Hadis”, Ujung Pandang, PT Bulan Bintang. �<[�
0 komentar:
Posting Komentar