Alhamdulillah dengan taufiq dan inayah
dari Allah SWT, makalah tentang Aqidah Islamiyah ini dapat disusun dan
disajikan sebagai tugas dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam, dan sebagai
bahan diskusi dengan harapan semoga materi ini menjadi pegangan ajaran tauhid atau
keimanan kita, yang selama ini secara tidak terasa keliru karena bercampur baur
dengan ajaran-ajaran non Islam, ataupun tradisi dari peninggalan nenek moyang
kita, sehingga tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan mana pula yang
salah.
Sebagai bukti nyata dari kekeliruan ini,
timbullah suatu semboyan “semua agama adalah sama dan baik”. Hilanglah ajaran
agama yang asli yang datangnya dari Sang Khaliq (Allah SWT), karena telah
diubah oleh tangan-tangan jahil manusia dan diprakarsai oleh hawa nafsu yang
sesat. Beruntunglah mereka yang sadar dan mau menganalisa, meneliti, membina
dan memantapkan Aqidah Islamiyah atau keimanannya, dengan berlandaskan kepada
Al-Quran dan Hadits serta mau mempergunakan ratio yang sehat.
Mudah-mudahan dengan seizin Allah SWT,
makalah ini dapat menyumbangkan jasanya untuk membina dan memantapkan iman dan
taqwa kita kepada Allah SWT.
Akhirnya harapan penyusun kepada para
pembaca, kiranya tidak jemu-jemu memberikan koreksi dan kritik untuk
memperbaiki materi ini. Sebab kekurangan sudah barang tentu selalu terdapat
pada insan yang dhaif.
Untuk itu, penyusun akan menunggu dan
menerima dengan segala senang hati, diiringi ucapan ribuan terima kasih. Semoga
Allah SWT jugalah yang akan memberi imbalan pahala yang tidak terhingga kepada
segenap pihak yang suka membantu untuk mencari kebenaran dalam ajaran agama
yang diridhaiNya. Amin.
Mataram, 15 November
2006
Penyusun
(Kelompok
6)
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
BAB
I.
PENDAHULUAN
BAB
III. AQIDAH
ISLAMIYAH LEBIH LANJUT
BAB
IV. PENUTUP
BAB I
Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu
tersebut. Semakin besar nilai manfaatnya, semakin penting ilmu tersebut untuk
dipelajari. Ilmu yang paling utama adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada
Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT adalah
orang yang bodoh, karena tidak ada orang yang lebih bodoh dari pada orang yang
tidak mengenal penciptanya.
Allah menciptakan manusia dengan
seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya bentuk dibanding dengan
makhluk/ciptaan yang lain. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para
Rasul-Nya (menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi
sebanyak 124.000 orang, namun jumlah yang sebenarnya hanya Allah saja yang
mengetahuinya), semuanya menyerukan kepada tauhid (diriwayatkan oleh Al Bukhari
dalam At Tarikhul Kabir 5/447 dan
Ahmad dalam Al Musnad 5/178-179).
Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313
(diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al
Maurid 2085 dan Ath-Thabrani dalam Al
Mu’jamul Kabir 8/139) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang
Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul. Orang yang menerima disebut
mukmin, orang yang menolaknya disebut kafir serta orang yang ragu-ragu disebut
munafik yang merupakan bagian dari kekafiran.
Begitu pentingnya aqidah ini, sehingga Nabi
Muhammad Saw, penutup para Nabi dan Rasul membimbing umatnya selama 13 tahun
ketika berada di Makkah dengan menekankan masalah aqidah ini, karena aqidah
adalah landasan semua tindakan, bahkan merupakan landasan bangunan Islam. Oleh
karena itu, maka para dai dan para pelurus agama dalam setiap masa selalu
memulai dakwah mereka dengan tauhid dan pelurusan aqidah sebelum mereka
mengajak kepada perintah-perintah agama yang lain. Bahkan para Nabi dan Rasul
sebelum Rasulullah juga menyerukan hal yang sama dalam dakwah-dakwah mereka
kepada umatnya. Hal ini seperti firman Allah dalam Al Quran surat
An Nahl ayat 36 dan surat
Al A'raaf ayat 59, 65, 73 dan 85:
وَلَقَدْبَعَثْـنَافِى كُـلِّ أُمَّةٍ رَّسُـولاًأَنِ اعْبُدُوااللَّهَ وَاخْتَـنِبُواالطَّـٰغُوتَۖ (النحل : ٣٦)
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut[1] itu’,…” (QS. An
Nahl: 36)
يَٰـقـَوْمِ اعْبُدُوااللـَّهَ مَالـَكـُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ (الأعراف : ٥٩٫٦٥٫٧٣٫٨٥)
Artinya : “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak
ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS. Al A'raaf: 59, 65, 73, 85)
Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. ‘Aqd berarti juga janji, ikatan
(kesepakatan) antara dua orang yang mengadakan perjanjian. Aqidah secara
definisi adalah suatu keyakinan yang mengikat hati manusia dari segala
keraguan. Aqidah dalam istilah umum yaitu keimanan yang mantap dan hukum yang
tegas, yang tidak dicampur keragu-raguan terhadap orang yang mengimaninya. Ini
adalah aqidah secara umum, tanpa memandang aqidah tersebut benar atau salah.
Aqidah secara terminology adalah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya,
membuat jiwa tenang, dan menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan
keraguan. Aqidah menurut syara’ berarti iman kepada Allah, para Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan kepada Hari Akhir, serta kepada qadar dan
qadha, baik takdir yang baik maupun yang buruk.
Aqidah tersebut dalam tubuh manusia ibarat
kepalanya. Maka apabila suatu umat sudah rusak, bagian yang harus
direhabilitasi adalah aqidahnya terlebih dahulu. Di sinilah pentingnya aqidah
ini, apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akhirat.
Aqidah merupakan kunci kita menuju surga. Aqidah juga menjadi dasar dari
seluruh hukum-hukum agama yang berada di atasnya. Aqidah Islam adalah tauhid,
yaitu mengesakan Tuhan yang diungkapkan dalam syahadat pertama. Sebagai dasar,
tauhid memiliki implikasi terhadap seluruh aspek kehidupan keagamaan seorang
Muslim, baik ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya.
Aqidah sebagai dasar utama ajaran Islam
bersumber pada Al Quran dan sunnah Rasul. Aqidah Islam mengikat seorang Muslim
sehingga ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh
karena itu, menjadi seorang Muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala
sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam, seluruh hidupnya didasarkan kepada
ajaran Islam. Hal ini seperti yang
tersebut dalam Al Quran surat
Al Baqarah ayat 208, yang berbunyi:
يٰآيُّهَاالَّذِيْنَ اٰمَـنُوْاادْخُلُوْافِى السِّـلْمِ كَآفَّـةًوَلاَتَتَّبِعُوْاخُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ اِنَّهُ لَكُمْ
عُدُوٌّمُّبِيْنٌ (البقرة : ٢٠٨)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke
dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208)
Dalam penulisan makalah ini, penyusun merumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah
definisi iman dan hubungannya dengan Islam serta sasaran pembahasannya?
2. Apakah
maksud dari beriman kepada Allah SWT,
dan apa hikmah dalam mengimaninya?
3. Apakah
maksud dari beriman kepada Malaikat Allah, dan hikmah dalam mengimaninya?
4. Apakah
maksud dari beriman kepada Kitab-kitab Allah, dan hikmah dalam mengimaninya?
5. Apakah
maksud dari beriman kepada Nabi dan Rasul Allah, dan hikmah dalam mengimaninya?
6. Apakah
maksud dari beriman kepada Hari Kiamat, dan hikmah dalam mengimaninya?
7. Apakah
maksud dari beriman kepada Takdir Allah, dan hikmah dalam mengimaninya?
8. Bagaimanakah
perkembangan aqidah Islamiyah?
9. Bagaimana
bahaya penyimpangan aqidah?
10. Bagaimana
cara menanggulangi penyimpangan terhadap penyimpangan aqidah?
11. Apakah
keistimewaan aqidah Islamiyah?
12. Apakah
manfaat mempelajari aqidah Islamiyah?
13. Apakah
wasiat aqidah dari salah satu imam besar Islam?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai
tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi amm
(STIEamm) Mataram, semester I tahun ajaran 2006/2007.
2. Sebagai
kepedulian penyusun atas pentingnya memahami aqidah Islamiyah secara benar.
3. Sebagai
rasa keprihatinan penyusun atas banyaknya penyimpangan aqidah Islamiyah yang
ada saat ini.
BAB II
Menurut pengertian bahasa iman adalah percaya
atau membenarkan. Menurut pengertian syariat (tauhid) iman adalah kepercayaan
atau keyakinan yang datang dari hati sanubari, diikrarkan dengan lisan, kemudian
dibuktikan dengan perbuatan amal saleh, oleh anggota badan.
Jadi iman adalah pekerjaan yang berhubungan
dengan perbuatan batin (hati) yaitu percaya kepada adanya Allah SWT, para
malaikat, para Rasul Allah, kitab-kitab Allah, akan terjadinya hari kiamat dan
percaya kepada takdir, sifatnya abstrak (tersembunyi).
Islam adalah pekerjaan yang berhubungan dengan
perbuatan lahir yaitu mengucap syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa,
haji, sifatnya konkrit (nyata).
Kalau kita perhatikan pengertian antara iman dan
Islam, maka jelas keduanya tidak dapat dipisahkan dengan arti kata setiap orang
Islam wajiblah beriman dan orang yang beriman wajiblah dia Islam artinya
menyerah diri, agar mendapat keselamatan fiddun
ya wal akhirat.
Ditinjau dari segi pengertian bahasa, maka di
antara iman dan Islam seolah-olah ada perbedaannya, artinya iman dan Islam
mempunyai operasional berlainan. Yang satu abstrak, yang satu lagi konkrit.
Tapi dalam segi praktis, iman dan Islam tidak dapat dipisahkan, karena sangat
erat hubungannya ibarat pohon dengan buahnya. Dengan kata lain, aqidah dan
syariat harus sejalan dan seirama, kalau tidak maka kehidupan ini akan pincang.
Firman Allah SWT dalam menggambarkan dua hal tersebut antara lain:
وَبَشِّرِالَّذِيْنَ آمَنُواوَعَمِلُواالصّٰلِحٰتِ أَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَااﻷنْهٰرُ (البقره : ٢٥)
Artinya : “Berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang beriman dan beramal shaleh (berbuat yang baik), bahwasanya mereka itu akan
memperoleh surga di bawahnya mengalirlah beberapa sungai.” (QS. Al Baqarah: 25)
مَنْ عَمِلَ صٰلِحًامِنْ ذَكَرٍأَوْأُنْثٰى وَهُوَمُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيٰوةًطَيِّبَةًۚوَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأْحْسَنِ مَاكَانُوْايَعْمَلُوْنَ (النحل : ٩٧)
Artinya : “Barang siapa beramal shaleh, baik ia lelaki
ataupun perempuan dan ia seorang yang beriman, maka pastilah Kami akan
memberinya kehidupan yang baik[2] dan pasti Kami
memberi balasan dengan pahalanya, menurut yang telah dia kerjakan dengan
sebaik-baiknya.” (QS. An Nahl: 97)
Adapun seperti yang sudah dikemukakan dalam bab
sebelumnya, bahwa sasaran materi dalam
makalah ini salah satunya adalah masalah keimanan, maka sebenarnya masalah
keimanan secara garis besar juga tercantum dalam hadits Rasulullah Saw:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللّٰهِ وَمَلاَٮِٔكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِوَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِخَيْرِهِ
وَشَرِّهِ (رواه مسلم)
Artinya : “.... (Iman ialah): kamu harus percaya kepada
Allah SWT, kepada para malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para
utusan-Nya, kepada hari akhir dan percaya pula kepada qadar (kepastian) baik
maupun buruk .....” (HR. Muslim)
Prof. Dr. C.C. Yung, seorang ahli psikologi (non
Muslim) yang pernah mendapat hadiah nobel tahun 1948, mengatakan bahwa: “Dalam
jiwa manusia itu ada fungsi percaya kepada Tuhan”[3]. Sayangnya manusia
kurang mampu untuk menetapkan siapa dan bagaimana Tuhan itu sebenarnya,
sehingga timbul agama buatan manusia (agama ardliyah/agama
budaya). Rasulullah Saw bersabda:
دِيْنُ الْمَرْءِعَقْلُهُ وَمَنْ لاَعَقْلَ لَهُ لاَدِيْنَ لَهُ (رواه أبوشيح ابن حبان)
Artinya : “Agama seseorang ialah akalnya; dan barang
siapa tidak ada akal (berarti) tak pula ia mempunyai agama.” (HR. Abu Syekh
ibnu Hiban)
Islam tidak mengenal “credoquia absurdum” (saya percaya sekalipun tidak masuk akal)[4]. Sebab Al Quran
melarang hal tersebut, seperti dalam firman Allah dalam surat Al Isra' ayat 36:
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَوَالْفُؤَادَكُلُّ أُولٰٓـٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُوْلاً (الإسر : ٣٦)
Artinya : “Dan janganlah engkau ikuti apa yang engkau
tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya nanti
akan ditanya.” (QS. Al Isra': 36)
Oleh karena itu kita harus menggunakan akal kita
pada tempatnya. Orang yang tidak menggunakan akalnya, dalam suatu tugas yang
amat penting, yaitu memilih agama sebagai pegangan hidup, oleh Allah SWT
disejajarkan dengan hewan, bahkan lebih jelek dari pada hewan. Hal ini seperti firman Allah SWT dalam Al
Quran surat Al
A’raaf ayat 179:
لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَّيَفْقَهُونَ بِهَاوَلَهُمْ أعْيُنٌ لاَّيُبْصِرُوْنَ بِهَاوَلَهُمْ آذَانٌ لاَّيَسْمَعُوُنَ بِهَآأولٰٓـٕكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمُ اغٰفِلُونَ (الأعراف : ١٧٩)
Artinya : “Mereka mempunyai hati (akal), tetapi tidak
mempergunakannya untuk memahami, mempunyai mata, tetapi tidak mempergunakannya
untuk melihat, mempunyai telinga, tetapi tidak mempergunakannya untuk
mendengar, orang-orang itu seperti hewan bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. Al A'raaf: 179)
Agama adalah keyakinan, yang seharusnya jika
kita ingin menganutnya, kita harus meneliti terlebih dahulu, menganalisa
kebenarannya, mempelajari secara kritis ajaran-ajarannya, sehingga agama yang
kita anut itu betul-betul dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya di hadapan
Allah SWT dan sesuai pula dengan fitrah. Janganlah kita memilih agama karena
kita mengikuti tren, sekedar ikut-ikutan. Bahkan meskipun agama yang kita anut
adalah agama yang berasal dari orang tua kita, maka sudah seharusnya kita juga
harus benar-benar mengerti akan kebenaran agama yang kita anut tersebut.
Janganlah agama hanya kita jadikan identitas.
Adapun syarat mutlak dari pengakuan itu haruslah
diucapkan dengan secara sadar, dan penuh dengan keinsyafan, yakni dengan
membaca dua kalimat syahadat. Dua kalimat sebagai ikrar atau pengakuan, yang
tersusun dari:
1.
Pengakuan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, disebut
dengan syahadat tauhid:
أَشْهَدُأَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللَّهُ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang patut
untuk disembah) melainkan Allah”
2. Pengakuan
Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah, disebut dengan syahadat Rasul:
وَأَشْهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُوْلُ اللَّهِ
“Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah”
Dalam Al Quran syahadatain ini terkenal dengan
nama “Kalimat Tayyibatun”, yaitu kalimat yang baik, tinggi nilainya, karena
mengandung (berfungsi) untuk membawa kebahagiaan hidup umat manusia, baik dunia
maupun akhirat. Oleh karena itu setiap orang yang mengamalkan ajaran
syahadatain tersebut, maka orang itu berhak untuk menempati surga. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw:
مَنْ كَانَ آجِرَكَلاَمِهِ لاَإلٰهَ إلاَّاللَّهُ دَجَلَ الْجَنَّةَ (رواه أبوداود)
Artinya : “Barang siapa yang akhir ucapannya (waktu akan
mati mengatakan): laa ilaaha illallaah, (maka) ia akan masuk surga.” (HR. Abu
Daud).
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa orang yang
mampu untuk mengucapkan kalimat syahadatain di akhir masa hidupnya, hanyalah
orang-orang yang semasa hidupnya selalu mengingat kepada Allah SWT dan
mengamalkan segala perintah-perintah-Nya. Dan orang tersebut dimasukkan dalam
kategori (golongan) orang-orang yang meninggal dengan derajat “Husnul Khatimah” (hidupnya berakhir
dalam keadaan baik).
Banyak jalan yang dapat digunakan untuk
membuktikan adanya Allah SWT. Dalam hal ini sangat mudah, asalkan kita mau mempergunakan
akal dan pikiran kita, yaitu dengan memperhatikan segala sesuatu yang telah
diciptakan-nya, antara lain:
وَفِى الأرْضِ آيٰتٌ لِلْمُوْقِنِيْنَوَفِىْٓ أنْفُسِكُمْ أفَلاَتُبْصِرُوْنَ (الذاريات : ٢٠-٢١)
Artinya : “Dan di bumi ini terdapatlah tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri,
maka apakah kamu tiada memperhatikannya.” (QS. Adz Dzariyat: 20-21)
إنَّ فِىْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلٰفِ الَّيْلِ وَالنَّهَــارِلآيٰتٍ لأُولِى الألْبَبِ (آل عمران : ١٩٠)
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (bukti kekuasaan
Allah) bagi orang yang (mau) menggunakan akalnya.” (QS. Ali Imran: 190)
تَفَكَّرُوْافِى الْخَلْقِ وَلاَتَفَكَّرُوْافِى الْخَالِقِ فَإنَّكُمْ لاَتَقْدِرُوْنَ قَدْرَهُ (رواه أبوشيخ)
Artinya : “Pikirkanlah olehmu tentang makhluk Tuhan, dan
janganlah kamu pikirkan tentang zat Khaliq (Allah), karena kamu pasti tidak
akan dapat menjangkau-Nya (tidak mungkin manusia untuk memikirkan zat Allah
SWT.)” (HR. Abu Syekh)
Beberapa ahli tasawwuf juga mengatakan:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْعَرَفَ رَبَّهُ
Artinya : “Barang siapa yang mengenal akan dirinya,
niscaya kenallah ia akan Tuhannya.”
Hal ini bukanlah berarti Allah SWT itu
bersemayam (berada) dalam diri kita, sebagaimana beberapa orang mempercayai hal
tersebut (manunggaling kawula gusti),
tetapi hal ini berarti bahwa kita menyadari betapa indah dan harmonisnya
susunan tubuh kita, sehingga dapat bekerja praktis, menurut fungsinya
masing-masing. Terutama dalam soal pengendalian roh. Hal-hal yang seperti
inilah yang menyadarkan kita akan adanya Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengatur,
dan Dia adalah Allah SWT. Kemudian kalau kita memperhatikan alam yang ada di
sekitar kita, betapa indah alam tersebut, begitu teraturnya alam berjalan, maka
dari situ kita bisa mengambil jalan untuk lebih mengenal Allah SWT.
Sebagai contoh, Imam Hambali (yang hidup antara
tahun 164 H-241H/ 855 M-1055 M), beliau membuktikan adanya zat Yang Maha Kuasa
dengan kejadian makhluk-makhluk, terutama manusia, yang asalnya dari sperma dan
ovum, akhirnya setelah mengalami proses yang ditentukan, maka jadilah ia
manusia yang sempurna. Sir Isaac Newton, merasakan bahwa ilmu yang ada padanya
adalah sekedar hasil penemuan tentang segala apa yang telah tersedia di alam
ini. Ilmu dan kepintaran manusia tidak sanggup untuk menciptakan sesuatu yang
belum ada sebelumnya. Ketinggian ilmu dan penemuan para ahli hanyalah mengolah
dan merubah bentuk, lebih dari itu tidak dapat berbuat apa-apa. Disinilah
Newton membuktikan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT sebagai Pencipta alam
semesta. Ilmu telah membawa akal kita untuk melihat kebesaran Allah SWT dengan
apa yang tidak dapat terlihat oleh mata manusia.
Meskipun ada banyak pengakuan dari ilmuwan non
Muslim, tapi hal tersebut hanyalah sekedar pengakuan mereka saja, tetapi mereka
tetap mempersekutukan Allah dan tidak mau mengakui Islam sebagai agama yang
benar. Walaupun ada hanya sebagian kecil saja. Kalau kita tinjau lebih jauh lagi,
bahkan setan dan iblis juga percaya akan adanya Allah, tetapi cara ibadah dan
kebaktian serta perbuatannya menyeleweng dari kehendak Allah SWT, bahkan secara
terus terang di hadapan Allah, mereka tidak mau menuruti perintah Allah untuk
menghormati Adam as.
Fakta-fakta yang membuktikan adanya Allah SWT,
zat Yang Maha Kuasa, sudah cukup banyak diungkapkan, baik oleh masyarakat
Muslim maupun non Muslim. Tetapi, jalan pikiran mereka untuk mengenal hakikat
yang sebenarnya masih berbeda-beda menurut cara dan konsep mereka sendiri. Oleh
karena itu, sangatlah perlu bagi kita untuk mengetahui sifat-sifat Allah SWT,
supaya jangan kita keliru untuk menentukan siapa dan bagaimana Allah Yang Maha
Kuasa itu.
Allah SWT tidak menganjurkan kita untuk
mengadakan penelitian, menganalisa, mengobservasi, atau mencari zat-Nya. Tapi
kita diwajibkan hanya untuk mengenal sifat-sifat-Nya. Untuk itu dapat kita
peroleh dengan dua cara, yaitu:
1.
Secara langsung dari Al Quran dan Al Hadits.
Cara ini hanya mempergunakan satu alternatif
saja, yaitu semua keterangan diambil dari Al Quran dan Al Hadits yang shahih,
inilah yang disebut dengan “Al Asmaul Husna”, (nama-nama yang baik), yang
jumlahnya sebanyak 99, dengan perincian sebagai berikut:
a.
Zat Pribadi-Nya : Al Waahid, Al Haq, Al Qudduus, Ash Shamad, Al
Ghanii, Al Mughnii, Al Awwal, Al Aakhiry, Al Hayyi, Al Qayyuum, Al Ahad.
b.
Penciptaan-Nya : Al Khaaliq, Al Baariu, Al Mushawwir, Al
Badii’u.
c.
Sifat-sifat-Nya : Ar Rahmaan, Ar Rahiim, Ar Rauuf, Al Waduud,
Al Lathiif, At Tawwab, Al Haliim, Al Afuwwu, Al Ghaffar, Al Ghafuur, As
Syakuur, As Salaam, Al Mukmin, Al Barr, Ar Raafi’, Ar Raazaq, Al Wahhaab, Al
Waasi’
d.
Kebesaran/keagungan-Nya : Al ‘Azhiim, Al ‘Aziiz, Al ‘Aliyyu, Al
Muta’aalii, Al Qawiyyu, Al Qahhaar, Al Jabbaar, Al Kabiir, Al Kariim, Al
Hamiid, Al Majiid, Al Maajid, Al Matiin, Azh Zhaahir, Zul Jalaali wal Ikraam
e.
Ilmu Pengetahuan-Nya : Al ‘Aliim, Al Hakiim, As Samii’u, Al Khabiir,
Al Bashiir, As Syahiid, Ar Raqiib, Al Baathin, Al Muhaimin
f.
Kekuasaan dan kepemimpinan-Nya : Al Qaadir, Al Muqtadir, Al
Wakiil, Al Hafizh, Al Malik, Al Fattaah, Al Hasiib, Al Muntaqim, Al Muqiit.
g.
Kodrat-Nya : Al Qaabidh, Al Baasith, Al Mu’izz, Al Mudzil,
Al Mufiib, Al Baa’its, Al Muhshi, Al Mubdiu, Al Mu’iid, Al Muhyi, Al Mumiit,
Malikul Muluk, Al Jaami’, Adh Dhaar, Al Maani’, Al Haadii, Al Baaqii, Al
Waarits.
h.
Iradat-Nya : An Nuur, Ash Shabuur, Ar Rasyiid, Al Muqsith,
An Naafi’, Al Waali, Al Jaliil, Al Waliiyu, Al ‘Adlu, Al Khaafidh, Al Waajid,
Al Muqaddim, Al Muakhir, Al Hakam, Al Mutakabbir.
2. Secara
gabungan, Al Quran dan pikiran (dalil naqliyah dan aqliyah).
Cara ini dirumuskan oleh tokoh dalam aliran ilmu
tauhid, yaitu Abul Hassan Al ‘Asyari, yang disebut dengan aliran Ahli Sunnah
Wal Jama’ah. Beliau berpendapat, cara untuk mengenal sifat-sifat yang wajib[5] bagi Allah SWT itu
ada dua macam:
a.
Secara ijmali (global), yaitu bahwa Allah SWT mempunyai
segala macam sifat kesempurnaan, yang tidak dimiliki oleh makhluk-Nya. Jumlah
sifat tersebut tidak terhingga banyaknya, tanpa batas.
b.
Secara tafshili (terperinci), yaitu bahwa yang disebut
dengan sifat dua puluh atau lebih diringkaskan menjadi sifat tiga belas. Adapun
tiga belas sifat Allah tersebut adalah sebagai berikut:
1) Wujud
Wujud berarti bahwa Allah wajib bersifat ada, dan
mustahil bagi Allah kalau Dia bersifat tidak ada (‘Adam). Dalil naqli dari
sifat ini adalah Al Quran surat
Al Baqarah ayat 163:
لآإلٰهَ إلاَّهُوَ (البقرة : ١٦٣)
Artinya : “Tidak ada Tuhan, melainkan Dia (Allah).” (QS.
Al Baqarah: 163)
Sedangkan dalil aqlinya, kita bisa mengambil
contoh seperti suatu gedung, misalnya. Kita bisa melihat suatu gedung, tapi
kita tidak pernah tahu siapa yang membuat gedung tersebut, tukang batu, tukang
kayu, arsitek, pekerja bangunan, semua bisa saja merupakan bagian dari pembuat
gedung tersebut, tapi kita tidak benar-benar tahu siapa sang pembuat gedung.
Yang kita tahu, bahwa gedung tersebut bisa berdiri tegak, pasti ada yang
membuatnya, tidak mungkin suatu gedung berdiri sendiri. Begitu juga dengan
Allah. Kita bisa melihat diri kita, dan juga alam ini, begitu indah, begitu
sempurna, begitu menakjubkan, yang kita semua tahu, tidak ada satupun manusia
di bumi ini yang bisa meniru sama seperti yang kita lihat, dengan segala
keunikannya. Meskipun begitu, semua keindahan itu tidak datang dengan
sendirinya, pasti ada Yang Maha Kuasa yang ada di balik semua itu. Pasti ada
yang menciptakan sebuah karya agung dari semua itu, dan itu adalah bukti adanya
Allah, sang pencipta segala sesuatu. Bukti bahwa Allah itu ada, dan mustahil
kalau tidak ada.
2) Qidam
Qidam berarti bahwa Allah wajib bersifat dahulu,
dan mustahil kalau Allah bersifat baru (Huduuts). Dalil naqli dari sifat ini
adalah Al Quran surat
Al Hadid ayat 3:
هُوَالأوَّلُ وَالآخِرُ (الحديد : ٣)
Artinya : “Dialah yang awal dan yang akhir.” (QS. Al
Hadid: 3)
Dalil aqli, bisa kita lihat dari contoh gedung di
atas. Jika ada sebuah gedung yang berdiri di suatu tempat, tidak mungkin gedung
tersebut berdiri di situ sebelum sang pembuatnya ada terlebih dahulu. Pastilah
sang pembuat gedung tersebut ada terlebih dahulu untuk membuat gedung tersebut.
Begitu juga Allah, sang pencipta semua makhluk yang ada di dunia ini, pastilah
Dia terlebih dahulu ada jika dibandingkan dengan para makhluk-Nya yang dia
ciptakan.
3) Baqa’
Baqa’ berarti Allah wajib bersifat kekal,
mustahil bagi Allah untuk bersifat hancur atau binasa (Fana’). Dalil naqli dari
sifat Baqa’ adalah Al Quran surat Al Qashash
ayat 88 dan Al Quran surat
Ar Rahman ayat 26-27:
كُلُّ شَيْىٍ هَالِكٌ إلاَّوَحْهَهُ (القصص : ٨٨)
Artinya : “Tiap-tiap sesuatu akan binasa, kecuali
Allah.” (QS. Al Qashash: 88)
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَافَانٍوَيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوالْجَلٰلِ وَالإكْرَامِ (الرحمن : ٢٦-٢٧)
Artinya : “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan
akan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar
Rahman: 26-27)
Dalil aqli, Allah SWT bukanlah benda atau materi,
oleh karena itu Dia tidak hancur, rusak ataupun mati. Kalau kiranya Allah itu
bisa binasa, maka sudah pasti ada makhluk yang mampu untuk menghancurkannya.
Dan itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya, karena tidak berdaya untuk menolak
kebinasaan tersebut. Jadi jelas bahwa Allah Yang Maha Kuasa itu tetap kekal
abadi, tanpa mengalami kehancuran dan kebinasaan.
4) Mukhalafatuhu
Lilhawaadits
Mukhalafatuhu Lilhawaadits berarti bahwa Allah
wajib bersifat berbeda dengan makhluk-Nya, dan mustahil bagi Allah untuk serupa
dengan makhluk-Nya (Mumatsalatuhu Lilhawaadits). Dalil naqli dari sifat ini
adalah Al Quran surat
Asy Syuura ayat 11, dan Al Ikhlas ayat 4:
لَيْسَ كَمِشْلِهِ شَيْىءٌ (الشورى : ١١)
Artinya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.”
(QS. Asy Syuura: 11)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًاأحَدٌ (الإجلاص : ٤)
Artinya : “Dan tidak ada satu (siapapun) yang sama
dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 4)
Dalil aqli, tidak mungkin jika kita sama dengan
Allah maka kita akan menyembah Allah. Mengapa kita harus menyembah sesuatu yang
tidak memiliki perbedaan (lebih) dengan kita? Sedangkan sesuatu tersebut bahkan
sama dengan kita. Bahkan terkadang kita sebagai manusia, menjilat atasan kita,
mencoba untuk mencari hati atasan kita, yang tentunya memiliki kelebihan dari
pada kita, yang berbeda dengan kita, maka sudah pasti juga kita menyembah Allah
karena Allah berbeda dengan kita, karena Allah Maha Kuasa, karena Allah jauh
melebihi kita yang diciptakan-Nya.
5) Qiyamuhu
Binafsihi
Qiyamuhu Binafsihi berarti bahwa Allah wajib
untuk bersifat berdiri sendiri, dan mustahil bagi Allah untuk meminta bantuan
makhluk-Nya (Ihtiyaju Bighairihi). Dalil naqli dari sifat ini adalah Al Quran surat Al Baqarah ayat 255 dan surat Al Fathir ayat 15:
اَللَّهُ لآإلٰهَ إلاَّهُوَالْحَيُّ الْقَيُّوْمُ (البقرة : ٢٥٥)
Artinya : “Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang
Hidup dan berdiri sendiri (di dalam mengurus makhluk).” (QS. Al Baqarah: 255)
يَـٓأيُّهَاالنَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَآءُاِلىَ اللَّهِۚ وَاللَّهُ هُوَالْغَنِىُّ الْحَمِيْدُ (فاطر : ١٥)
Artinya : “Wahai sekalian manusia! Kamulah yang
memerlukan Allah, sedangkan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (QS. Faathir:
15)
Dalil aqli, jika kita meminta bantuan kepada
orang lain, itu bisa berarti bahwa kita lemah, kita tidak menguasai hal yang
kita mintakan pertolongan kepada orang lain. Jika Allah meminta pertolongan
kepada manusia, maka itu berarti Allah itu lemah, sedangkan kita tahu bahwa
Allah adalah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jadi sudah pasti bahwa Allah
itu berdiri sendiri, dan mustahil kalau Allah membutuhkan pertolongan orang
lain.
6) Wahdaniyah
Wahdaniyah berarti bahwa Allah wajib bersifat
Maha Esa[6], dan mustahil jika
Allah itu banyak atau berbilang (Ta’addud). Dalil naqli dari sifat ini adalah
Al Quran surat
Al Ikhlas ayat 1-4 dan Al Baqarah ayat 163:
قُلْ هُوَاللَّهُ أحَدٌاَللَّهُ الصَّمَدُلَمْ يَلِدْوَلَمْ يُوْلَدْوَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًاأحَدٌ (الإجلاص : ١-٤)
Artinya : “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak
pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al
Ikhlas: 1-4)
وَإلٰهُكُمْ إلٰهٌوّٰحِدٌ (البقرة : ١٦٣)
Artinya : “Dan Tuhanmu itu Tuhan Yang Maha Esa
(tunggal).” (QS. Al Baqarah: 163)
Dalil aqli, dalam sebuah negara selalu hanya ada
satu presiden, karena jika ada lebih dari satu presiden, maka negara tersebut
akan kacau, karena akan terjadi perebutan kekuasaan dalam menentukan jalannya
pemerintahan. Begitu juga dengan alam ini, jika dari dulu sampai sekarang alam
ini berjalan begitu rapi, begitu teratur, maka sudah pasti karena yang mengatur
segalanya hanyalah satu, yaitu Allah. Jika ada lebih dari satu Tuhan, maka
tentu akan terjadi kekacauan dalam mengatur alam ini, selain itu, jika ada
lebih dari satu Tuhan, maka Tuhan yang satu akan merasa lebih dari Tuhan yang
lain, sehingga Tuhan-Tuhan tersebut akan saling membutuhkan. Itu menunjukkan
bahwa Tuhan itu lemah. Dan mustahil kalau Allah itu lemah, maka sudah pasti
bahwa Allah itu hanya ada satu.
7) Qudrat
Qudrat berarti bahwa Allah wajib bersifat Maha
Kuasa, dan mustahil bagi Allah bersifat lemah (‘Ajzu). Dalil naqli dari sifat
ini adalah Al Quran surat
Al Baqarah ayat 20:
إنَّ اللَّهَ عَلىٰ كُلِّ شَيْىءٍقَدِيْرٌ (البقرة : ٢٠)
Artinya : “Sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa atas
tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 20)
Dalil aqli, seperti yang sudah dipaparkan di
atas, alam yang berjalan begitu teratur ini pastilah ada yang mengaturnya. Jika
kita lihat, misalnya alat-alat transportasi modern, yang sudah dibuat
sedemikian rupa, dengan dikendalikan oleh peralatan yang canggih, tapi
terkadang masih terjadi tabrakan dan kecelakaan yang lain. Hal ini karena
alat-alat tersebut dibuat dan diatur oleh manusia yang lemah. Maka jika Allah
itu lemah, pastilah akan banyak terjadi tabrakan antar planet di alam ini,
sehingga akan terjadi kekacauan di alam ini. Tapi Allah adalah Yang Maha
Berkuasa atas segala sesuatu, maka Allah juga berkuasa untuk mengatur dan
menjalankan alam ini sesuai dengan apa yang kita lihat sekarang ini. Jadi
pastilah Allah itu bersifat Maha Kuasa.
8) Iradat
Iradat berarti bahwa Allah wajib bersifat
berkehendak, dan mustahil jika Allah itu bersifat terpaksa (Karahah). Dalil
naqli dari sifat ini adalah Al Quran surat
Yaasiin ayat 82 dan surat
Al Baqarah ayat 253:
إنَّمَآأمْرُهُ ٓإذَ ٓاأرَادَشَيْـاًأنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ (يٰسٓ : ٨٢)
Artinya : “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!”, maka terjadilah dia
(sesuatu) yang dikehendaki-Nya itu.” (QS. Yaasiin: 82)
وَلٰكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَايُرِيْدُ (البقرة : ٢٥٣)
Artinya : “Akan tetapi Allah berbuat apa yang
dikehendaki-Nya.” (QS. Al Baqarah: 253)
Dalil aqli, kita bisa melihat keberagaman akan
makhluk-makhluk ciptaan Allah. Beberapa di antara kita ada yang cantik, ada
yang ganteng, ada yang pintar, ada yang pandai, ada yang seksi, ada yang gagah,
dan ada juga orang lain yang jelek, cacat, bodoh, dan sebagainya. Jika Tuhan
itu bisa kita paksa, maka tentunya kita bisa meminta agar Tuhan itu membuat
semuanya sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tetapi Allah Maha Berkehendak,
Dia bisa menciptakan makhluk yang dikehendaki oleh Allah sendiri.
9) Ilmu
Ilmu berarti bahwa Allah wajib bersifat
mengetahui, dan mustahil bagi Allah untuk bersifat bodoh (Jahlu). Dalil naqli
dari sifat ini adalah Al Quran surat
Al Baqarah ayat 231:
وَاتَّقُوااللَّهَ وَاعْلَمُوْ ٓاأنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْىءٍعَلِيْمٌ (البقرة : ٢٣١)
Artinya : “Dan bertakwalah kepada Allah, serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah:
231)
Dalil aqli, seorang ilmuwan yang menciptakan
sesuatu karya, pastilah dia mengetahui dengan benar segala apa yang dia
ciptakan tersebut, bagaimana cara pengoperasiannya, apa yang harus dilakukan
jika misalnya penemuannya tersebut mengalami masalah, dan lain sebagainya. Maka
begitu juga Allah, Dia pastilah mengetahui tentang segala sesuatu yang ada di
alam ini, karena alam ini adalah ciptaan-Nya.
10) Hayat
Hayat berarti bahwa Allah wajib bersifat hidup,
mustahil bagi Allah untuk bersifat mati (Maut). Dalil naqli dari sifat ini
adalah Al Quran surat
Al Baqarah ayat 255:
اَللَّهُ لآإلٰهَ إلاَّهُوَالْحَىُّ الْقَيُّوْمُ (البقرة : ٢٥٥)
Artinya : “Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang
Hidup Kekal lagi terus menerus.” (QS. Al Baqarah: 255)
Dalil aqli, seperti yang sudah disebutkan di
atas, bahwa Allah itu bersifat ada, kekal dan berkuasa. Maka sudah pasti dengan
sifat-sifat tersebut Allah juga bersifat hidup. Suatu hal yang tidak mungkin
jika Allah itu kekal, tapi Allah tidak hidup atau mati. Maka tentunya Allah itu
tidak kekal, seandainya Allah itu bisa mati. Jadi sudah jelas bahwa Allah itu
bersifat hidup.
11) Sama’
Sama’ berarti bahwa Allah wajib bersifat
mendengar, dan mustahil bagi Allah untuk bersifat tuli (‘Ama). Dalil naqli dari
sifat ini adalah Al Quran surat
Al Isra' ayat 1:
إنَّهُ هُوَالسَّمِعُ الْبَصِيْرُ (الإسرآء : ١)
Artinya : “Sesungguhnya Allah, Maha Mendengar dan Maha
Melihat.” (QS. Al Isra': 1)
Dalil aqli, pada zaman sekarang ini kita sudah
mengetahui tentang radio. Dengan radio, kita bisa mendengar berita, mendengar
lagu, mendengar orang mengobrol dan sebagainya, bahkan meskipun kita tidak
berada di tempat di mana orang itu berada. Begitu juga dengan teknologi telepon
selular, kita bisa mendengar suara orang lain melalui suatu alat yang kecil,
yang bahkan bisa kita masukkan ke dalam saku, tanpa kita harus melihat atau
bahkan berada dalam satu ruang dengan orang tersebut. Jika sebagai manusia kita
bisa menciptakan alat-alat yang seperti itu, maka sudah pasti pencipta manusia
memiliki penglihatan yang melebihi dari apa yang diciptakan manusia. Oleh
karena itu wajib bagi Allah untuk bersifat mendengar.
12) Bashar
Bashar berarti bahwa Allah wajib bersifat
melihat, dan mustahil bagi Allah untuk bersifat buta (Shamam). Dalil naqli dari
sifat ini adalah Al Quran surat
Al Hujurat ayat 18:
وَاللَّهُ بَصِيْرٌبِمَاتَعْمَلُوْنَ (الحجرات : ١٨)
Artinya : “Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al Hujurat: 18)
Dalil aqli, dalam teknologi yang serba modern,
kita bisa menyaksikan Piala Dunia bulan Juli kemarin lewat layar televisi, tanpa
kita harus bersusah payah pergi ke Jerman. bahkan saat ini teknologi telepon
selular sudah sedemikian majunya, dengan generasi ketiganya, kita bisa
melakukan video conference. Kita bisa berbicara dengan teman atau saudara kita
dan melihat mereka pada layar telepon kita. Atau juga mikroskop untuk melihat
kuman, teleskop untuk melihat benda-benda langit, dan sebagainya. Alat-alat
yang diciptakan oleh manusia tersebut sudah sedemikian canggih, tetapi tentunya
pencipta manusia pasti lebih ‘canggih’ lagi. Sudah pasti bahwa Allah bisa
melihat bahkan di tempat-tempat yang tersembunyi sekalipun. Jadi Allah wajib
untuk memiliki sifat Maha Melihat.
13) Kalam
Kalam berarti bahwa Allah wajib bersifat
berfirman, berkata-kata, dan mustahil kalau Allah memiliki sifat bisu (Abkamu).
Dalil naqli dari sifat tersebut adalah Al Quran surat An Nisa' ayat 164:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوْسٰ تَكْلِيْمًا (النسآء : ١٦٤)
Artinya : “Dan Allah berfirman kepada Musa dengan
firman-Nya secara langsung[7].” (QS. An Nisa':
164)
Dalil aqli, alam raya ini berjalan begitu
teratur, pasti karena ada yang mengatur, memberi petunjuk dan pedoman kepada
makhluk-Nya dengan firman-Nya. Begitu juga adanya agama-agama yang membawa
kitab-kitab Allah, yang merupakan firman-firman Allah, pastilah Allah telah
menyampaikan firman-Nya tersebut melalui perantaraan wahyu yang dibawa oleh
Malaikat Jibril. Jadi sudah pasti bahwa Allah itu bersifat kalam.
Sebenarnya, sifat-sifat Allah itu tidak hanya
terbatas tiga belas sifat tersebut di atas saja, tetapi meliputi segala
sifat-sifat kesempurnaan yang sesuai dengan kemuliaan Allah SWT itu sendiri.
Sehingga diharapkan setelah kita mengetahui sifat-sifat Allah dan memahaminya,
kita bisa terhindar dari dosa terbesar, yaitu syirik.
Dengan mengimani Allah SWT, maka diharapkan hal
tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya perilaku baik dalam kehidupan
sehari-hari kita. Setiap kita pasti akan merasa malu dan takut jika melakukan
dosa jika kita mengetahui Allah dengan sifat-sifatnya yang Maha Melihat dan
Maha Mendengar, serta sifat-sifat yang lain. Dengan adanya iman kepada Allah,
kita akan meyakini bahwa kita tidak bisa bersembunyi dari Allah. Maka bisa
dikatakan, jika seorang manusia melakukan dosa, maka itu berarti iman sedang
tidak berada dalam hatinya. Oleh karena itu, selama iman masih ada di hati,
kita tidak akan melakukan perbuatan dosa.
Beriman kepada malaikat berarti kita percaya
dengan sepenuhnya bahwa malaikat itu makhluk Allah SWT yang sangat taat untuk
melaksanakan perintah-perintah-Nya. Dia hanya dianugerahi akal, tanpa nafsu.
Maka dia tidak banyak kehendak, dan tugasnya bersifat khusus dan tanpa henti.
Perintah Allah untuk berfirman kepada para malaikat ini tercantum dalam Al
Quran surat Al
Baqarah ayat 285:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلٰـٓـٕكَتِهِ (البقرة : ٢٨٥)
Artinya : “Demikian pula orang-orang yang beriman,
semuanya beriman kepada Allah dan malaikat-malaikat-Nya.” (QS. Al Baqarah: 285)
Di antara sekian banyak malaikat, kita
diwajibkan untuk mengetahui sepuluh dari mereka, dengan fungsi dan tugasnya
masing-masing, yaitu:
1.
Malaikat Jibril,
tugasnya adalah untuk menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul, selain itu
juga memberikan ilham kepada waliyullah dan orang-orang yang shaleh.
2.
Malaikat Mikail,
tugasnya adalah menurunkan segala macam nikmat, seperti memberikan rezeki,
menurunkan hujan, memberikan ketentuan kelamin bayi yang berada di dalam
kandungan ibu atas izin Allah SWT.
3.
Malaikat Israfil,
tugasnya adalah menjaga Lauhul Maahfuz, meniup terompet dan membangkitkan semua
manusia pada hari kiamat nanti.
4.
Malaikat Izrail,
tugasnya adalah mengambil/mencabut nyawa setiap makhluk yang akan mati.
5.
Malaikat Munkar
dan
6.
Malaikat Nakir,
tugasnya untuk bertanya kepada orang-orang yang baru meninggal di dalam
kuburnya.[8]
7.
Malaikat Rakib
dan
8.
Malaikat 'Atit,
tugasnya untuk mencatat segala perbuatan manusia. Malaikat Rakib mencatat
perbuatan yang baik, sedangkan malaikat 'Atit mencatat perbuatan jelek, dosa.
9.
Malaikat Malik,
tugasnya adalah menjaga neraka.
10.
Malaikat Ridwan,
tugasnya adalah menjaga surga.
Penciptaan malaikat tersebut tidak kemudian
berarti bahwa Allah SWT tidak kuasa dalam mengurusi segala ciptaan-Nya, tetapi
semua itu mengandung beberapa hikmah, antara lain:
1.
Untuk membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa untuk
menciptakan makhluk yang bersifat ruhaniyah maupun jasmaniyah.
2.
Mendidik manusia sebagai khalifah di muka bumi ini agar
dalam melaksanakan kepemimpinannya supaya membagi-bagi tugasnya kepada
orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing, bahkan meskipun kita mampu
untuk melaksanakannya.
3.
Karena manusia (dalam hal ini Nabi dan Rasul), tidak
mampu untuk berhadapan dengan Nur Illahi.
Sedangkan tujuan kita diharuskan untuk beriman
kepada malaikat adalah sebagai berikut:
1.
Supaya kita selalu berhati-hati dalam melakukan
kegiatan kita sehari-hari, karena selain dilihat oleh Allah, ada malaikat yang
akan mencatat dan menyaksikan setiap perbuatan yang kita lakukan.
2.
Untuk menambah keimanan kita bahwa Allah mampu untuk
melakukan kehendak-Nya dalam menciptakan makhluk-makhluk-Nya.
Beriman kepada kitab-kitab Allah SWT berarti
kita harus meyakini bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab kepada para
Rasul-Nya untuk menjadikan pedoman hidup bagi umat manusia dari setiap
perbuatan yang dilakukannya, baik itu perbuatan untuk dunia maupun akhirat.
Kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah itu ada banyak sekali, meskipun
begitu yang wajib kita ketahui ada empat buah, yaitu:
1. Taurat,
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa as dalam bahasa Ibrani. Isinya yang
terutama adalah mengajak manusia kepada agama tauhid.
2. Zabur,
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Daud as dalam bahasa Qibti. Isinya ialah
merupakan nyanyian-nyanyian yang memuji Allah serta menganjurkan agar manusia
itu beragama tauhid.
3. Injil,
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Isa as dalam bahasa Suryani. Isinya
menegaskan bahwa Allah itu Esa.
4. Al
Quran, diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw dalam bahasa Arab. Al
Quran ini merupakan kitab yang terakhir dan melengkapi semua isi kandungan
kitab-kitab suci samawiyah yang sebelumnya. Isi Al Quran banyak mengandung
ajaran yang sangat relevan dengan situasi umat di masa kini.
Dengan beriman kepada kitab-kitab Allah, maka
kita dapat memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran terhadap jalan yang kita
tempuh. Jalan yang harus kita tempuh tersebut sudah tercantum dalam kitab-kitab
Allah, untuk umat-umat pada masanya. Sehingga, karena kita tidak tahu ke mana
arah jalan yang akan kita tempuh, baik ketika kita berada di dunia, maupun
setelah kita tidak lagi berada di dunia, maka dengan meyakini akan kitab Allah,
kita akan mendapatkan gambaran apa yang harus kita lakukan untuk bisa mengikuti
jalan yang diminta oleh Allah untuk kita ikuti. Setiap perilaku yang boleh dan
tidak boleh kita lakukan, semua terdapat dalam kitab yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi dan Rasul. Sehingga dengan mengimani kepada kitab Allah, kita akan
tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak, dengan begitu, kita akan
selalu hidup dalam jalan yang lurus yang telah digariskan oleh Allah untuk kita
jalankan.
Beriman kepada Rasul-Rasul Allah berarti kita
mengakui dengan sepenuhnya, bahwa Allah SWT mengutus para Rasul/Nabi untuk
menyampaikan wahyu-wahyu-Nya yang berisikan tauhid, hukum-hukum, sejarah dan
akhlak, untuk membimbing manusia ke jalan kebenaran, dan untuk membuktikan
bahwa mereka memang betul-betul seorang Nabi/Rasul, maka para Nabi/Rasul
tersebut diberikan keistimewaan atau mukjizat. Kita juga harus meyakini bahwa
para Rasul tersebut wajib untuk dituruti apa-apa yang diperintahkannya, dan
meninggalkan apa-apa yang dilarangnya.
Oleh karena banyak orang yang mengakui dirinya
sebagai Rasul dan Nabi, maka kita yang memiliki kewajiban untuk mengimani para
Rasul dan Nabi Allah haruslah tahu sifat-sifat para Nabi dan Rasul yang begitu
mulia, yang mustahil sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat yang tercela.
Adapun sifat-sifat tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Shiddiq (benar), mustahil para Rasul bersifat Kidzib
(dusta)
2.
Amanah (jujur), mustahil para Rasul bersifat Khianat
(penipu)
3.
Tabligh (menyampaikan), mustahil para Rasul bersifat Kitman
(menyembunyikan)
4.
Fathonah (cerdik), mustahil para Rasul bersifat
Baladhlah (bodoh)
Adapun dengan kita beriman kepada para Rasul dan
Nabi Allah, diharapkan kita dapat meyakini bahwa para Rasul dan Nabi itu bisa
kita turuti apa-apa yang diperintahkannya dan apa-apa yang dilarangnya, sesuai
dengan perintah Allah. Kita juga harus meyakini bahwa para Rasul itu menerima
wahyu yang mengandung petunjuk-petunjuk, peraturan-peraturan yang dikehendaki
oleh Allah agar disampaikan kepada umatnya yang bersangkutan, baik itu yang
berhubungan dengan keimanan, hukum-hukum, kemasyarakatan dan lain-lain.
Kita juga harus meyakini bahwa para Rasul dan
Nabi mendapat petunjuk dan mukjizat dari Allah guna mengatasi orang yang
menentangnya. Para Rasul dan Nabi juga merupakan manusia-manusia yang memiliki
pribadi yang mulia, terpelihara dari perbuatan maksiat, pikiran yang tajam,
perkataan yang mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat berharga sebagai
pandangan hidup manusia. Mereka juga tidak dapat dipengaruhi oleh setan, kekuatan
sihir, iblis dan lain sebagainya.
Beriman kepada hari kiamat berarti bahwa kita
percaya dengan sepenuhnya bahwa setelah alam dan segala isinya dihancurkan oleh
Allah SWT dan semua makhluk akan mati, kemudian dibangkitkan dari alam kuburnya
untuk diperhitungkan segala amal kebaikan dan kejahatan dengan seteliti
mungkin, kemudian baru ditentukan tempatnya sesuai dengan amal perbuatannya
selama hidup di dunia. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al Quran surat Al Hajj ayat 6-7 dan
An Najm ayat 39-41:
وَأنَّهُ يُحْىِ الْمَوْتٰى وَأنَّهُ عَلىٰ كُلِّ شَيْىءٍقَدِيْرٌوَأنَّ السَّـاعَةَ آتِيَةٌ لاَّرَيْبَ فِيْهَاوَأنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِى الْقُبـُوْرِ (الحج : ٦-٧)
Artinya : “Dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan
segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan
sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan pada-Nya; dan
bahwasanya Allah membangkitkan semua orang yang di dalam kubur.” (QS. Al Hajj:
6-7)
وَأنْ لَّيْسَ لِلإنْسَـانِ إلاَّمَاسَعَاوَأنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرٰىثُمَّ يُجْزٰٮهُ الْجَزَآءَالأوْفٰى (النجم : ٣٩-٤١)
Artinya : “Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu
kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. An Najm: 39 – 41)
Melihat dari kejadiannya, maka yang disebut hari
kiamat itu dibagi menjadi dua kelompok:
1.
Kiamat sughra (kecil)
Kiamat sughra ialah saat-saat dimana manusia
menghadapi masa kematiannya. Hal ini berdasar pada sunnah Rasulullah Saw,
yaitu:
مَنْ مَاتَ فـَقـَدْقـَامَتْ قِيَامَتـُهُ
Artinya : “Orang yang mati itu, (berarti) telah datang
kiamatnya sendiri.”
Rentetan peristiwa kiamat sughra yaitu:
a.
Masuk ke alam barzah (kubur), setiap orang yang mati,
bagaimanapun caranya, akan masuk ke alam barzah, yaitu batas waktu antara mati
hingga datangnya hari kiamat.
b.
Pertanyaan-pertanyaan memasuki alam barzah, setiap
orang yang sudah memasuki alam barzah, akan diberi pertanyaan untuk mengetahui
siapa yang taat dan siapa yang tidak mentaati peraturan-peraturan Allah.
Pengecualian dari hal ini adalah untuk para Nabi, Rasul dan para syuhada yang
gugur di jalan Allah. Adapun jawaban dari pertanyaan tersebut berdasarkan dari
setiap amal perbuatan dan ibadah kita sehari-hari.
c.
Hasil yang diperoleh dari pertanyaan-pertanyaan di alam
barzah, setiap orang yang sudah diberikan pertanyaan, maka akan mendapatkan dua
kemungkinan hasil yang bisa diperoleh, orang yang lulus (taat) akan mendapatkan
nikmat kubur, sedangkan orang yang gagal (kafir, munafik, banyak maksiat dan sebagainya)
akan mendapat siksa kubur.
2. Kiamat
qubra (besar)
Kiamat qubra yaitu permulaan hancurnya alam
semesta ini, kemudian dibangkitkan semua manusia dari kuburnya untuk
dikumpulkan di padang mahsyar dan di sana mereka menunggu
ketentuan tempatnya masing-masing, surga atau neraka.
Rentetan peristiwa kiamat qubra adalah:
a.
Hari kebangkitan (ba’ats) dan mahsyar, yaitu hari
dimana Allah SWT membangunkan semua insan yang telah mati, untuk dikumpulkan di
padang mahsyar, yaitu tempat berkumpulnya manusia setelah dibangkitkan dari
alam barzah untuk menunggu perhitungan yang seadil-adilnya dari segala amal
perbuatan baik dan jahat selama mereka hidup di dunia.
b.
Mizan, shirat dan Al Kautsar. Mizan merupakan timbangan
untuk menimbang amal manusia secara terperinci. Dari hasil timbangan amal
tersebut, maka akan ditentukan siapa yang berhak untuk memasuki surga, dan
siapa yang harus masuk neraka. Shirat ialah jembatan yang membentang di atas
api neraka yang dilalui oleh setiap manusia. Adapun bentuk shirat itu sendiri
tergantung dari amal perbuatan kita di dunia, jika kita banyak melakukan
amal-amal jelek, maka shirat tersebut akan berbentuk kecil, halus dan tajam
seumpama bilah pedang. Sedangkan jika kita banyak melakukan amal-amal baik,
maka shirat tersebut akan berbentuk lebar dan cepat pula kita melaluinya. Al
Kautsar adalah sebuah telaga atau sungai. Telaga Kautsar ini dimiliki oleh
setiap Rasul dan digunakan oleh para umatnya sebelum mereka memasuki surga.
c.
Surga dan neraka. Surga adalah suatu tempat pembalasan
bagi para mukmin yang banyak berbuat amal kebaikan selama hidup di dunia. Surga
ini memiliki sifat kekal di dalamnya. Kebalikan dari surga, neraka merupakan
suatu tempat pembalasan bagi setiap orang yang berbuat dosa dan kemaksiatan.
Neraka ini bisa bersifat kekal maupun sementara waktu, tergantung dari
perbuatan yang dilakukan manusia selama di dunia.
Beriman kepada hari kiamat ini mengandung arti
yang sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Hal ini
disebabkan karena dengan beriman kepada hari kiamat akan menambah keyakinan
kita atas kekuasaan Allah yang sanggup menciptakan alam yang nyata, kemudian
sanggup pula menggantikannya dengan alam yang ghaib. Kita juga akan lebih
termotivasi untuk selalu melakukan amal shaleh dan meninggalkan perbuatan
maksiat. Selain itu dengan mengimani hari kiamat, maka orang-orang mukmin yang
selalu mendapatkan ketidakadilan selama hidupnya di dunia akan merasa tenang
karena mereka yakin bisa mendapatkan balasan yang seadil-adilnya di hadapan
Allah SWT.
Qadha adalah kenyataan hukum yang telah
ditetapkan Allah SWT sejak zaman azali (dalam ilmu Tuhan) terhadap sesuatu yang
sekarang telah berujud, seperti hidup, mati, senang, susah dan lain sebagainya
(praktis kenyataan)[9]. Qadar adalah rencana
(program) yang berada di dalam ilmu Tuhan Allah (zaman azali) untuk menentukan
segala sesuatu secara teoritis (rencana)[10]. Dari pengertian
tersebut, bisa disimpulkan bahwa qadha’ merupakan manifestasi dari qadar,
sedangkan qadar hanyalah merupakan rencana-rencana saja, sehingga qadha’ dan
qadar merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Beriman kepada qadha’ dan qadar adalah kita
yakin dan percaya dengan sepenuhnya bahwa sesuatu yang telah atau sedang maupun
yang akan terjadi adalah kehendak dari Allah SWT, sebagaimana firman Allah
dalam Al Quran surat
Al Ahzab ayat 38:
وَكـَانَ أمْرُاللـّٰهِ قـَدَرًامَّقـْدُوْرًا (الأحزاب : ٣٨)
Artinya : “Adalah segala urusan Allah itu, menurut
ketentuan yang telah ditentukan (ditakdirkan).” (QS. Al Ahzab: 38)
Tapi akhir-akhir ini banyak sekali dari manusia
yang kadang menyalahkan takdir. Hal ini tentu saja karena mereka tidak
mengetahui bagaimana dan apa takdir itu sendiri. Meskipun segala sesuatu yang
ada di dunia ini sudah ada ketetapan atau takdir dari Allah SWT, tapi kita juga
harus mengingat bahwa dalam hidup di dunia ini Allah menganjurkan kita untuk
berusaha, berikhtiar dan berdoa dengan semaksimal mungkin, sedangkan hasilnya
baru kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Tapi hal ini tidak berarti bahwa
kita pasrah begitu saja dengan nasib dan takdir yang ada pada kita, tapi kita
juga harus berusaha, sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Ar Ra'd ayat 11:
إنَّ اللـّٰهَ لاَيُغـَيِّرُمَابـِقـَوْمٍ حَتىّٰ يُغـَيِّرُوْامَابـِأنـْفـُسِهِمْ (الرعد : ١١)
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan
(nasib) suatu kaum, kecuali (apabila) mereka itu sendiri (mau) mengubah keadaan[11] yang ada pada
dirinya.” (QS. Ar Ra'd: 11)
Hal tersebut berarti bahwa kegagalan, nasib yang
“jelek” yang menimpa manusia, mungkin saja bukan merupakan takdir, tapi
hanyalah berupa ujian atau cobaan dari Allah. Dalam hal ini ada kemungkinan
bahwa Allah ingin melihat seberapa banyak kita mau untuk berusaha dan
berikhtiar. Apakah dengan satu dua kegagalan, kita akan menyerah pada nasib,
atau kita masih mau berusaha semaksimal mungkin sampai akhirnya memang takdir
yang menentukan. Meskipun begitu, kegagalan yang kita peroleh sudah pasti akan
selalu mengandung hikmah yang diberikan oleh Allah seandainya kita sendiri mau
untuk berpikir. Allah tidak mungkin akan melakukan “kejahatan” dengan selalu
memberi nasib jelek kepada manusia. Hal ini telah ditunjukkan oleh firman Allah
dalam Al Quran surat
An Nisa' ayat 79:
مَآأصَابَكَ مِنْ حَسَنـَةٍ فـَمِنَ اللـّٰهِوَمَآأصَابَكَ مِنْ سَيِّئـَةِفـَمِنْ نـَّفـْسِكَ (النسآء : ٧٩)
Artinya : “Sesuatu kebaikan itu hakikatnya (datang) dari
Allah belaka dan kejahatan yang menimpa dirimu adalah (kesalahanmu) sendiri.”
(QS. An Nisa': 79)
Untuk memudahkan kita memahami hubungan takdir
dan usaha ikhtiar serta doa yang kita mohonkan kepada Allah, maka perlu
mengetahui macam-macam takdir, yaitu:
1.
Takdir yang mubram,
yaitu suatu takdir yang sudah menjadi keputusan yang positif dari Allah sejak
zaman azali, sehingga tidak dapat dirubah dengan doa dan usaha apapun.
2.
Takdir yang mu’allaq,
yaitu suatu takdir yang mana keputusan tersebut masih dapat dirubah, sehingga
di sini kita memiliki kewajiban untuk berikhtiar, berdoa dan berusaha sehingga
takdir itu bisa dirubah.
Dari beberapa hal di atas, kita bisa mengambil
kesimpulan tentang hikmah kita beriman kepada takdir Allah, antara lain:
1.
Mendorong kita untuk lebih keras dalam berusaha,
berikhtiar dan berdoa dalam usaha mencapai keinginan dan cita-cita kita.
2.
Menghindari sifat putus asa saat usaha yang kita
lakukan tidak mencapai hasil sesuai dengan apa yang kita harapkan.
3.
Meyakinkan kita bahwa di atas segala hal, masih ada
yang berkuasa atas semua yang ada di dunia ini, betapa canggih dan modern ilmu
pengetahuan yang ada saat ini, tetapi saat kuasa Allah sudah berbicara, maka
ilmu pengetahuan paling modern dan paling canggih sekalipun tidak akan mampu
untuk menandinginya.
4.
Menghindarkan kita dari sifat sombong dan bangga diri,
karena segala sesuatu yang kita miliki, segala sesuatu yang ada dalam diri
kita, merupakan pemberian dari Allah dan juga milik Allah yang dipinjamkan oleh
Allah untuk kita, sehingga Allah sewaktu-waktu dapat mengambilnya tanpa harus
minta ijin kepada kita.
BAB III
Apabila kita memperhatikan kisah para Rasul,
maka apa yang mereka serukan pertama kali saat mereka berdakwah adalah tentang
tauhid, bahwa kita diwajibkan untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak ada
sekutu bagi-Nya dan menjauhi syirik walaupun dengan syariat yang berbeda-beda.
Hal ini bukan berarti para Rasul tidak menyeru kepada keutamaan-keutamaan yang
lain, namun mereka juga membawa syariat dan konsep hidup untuk memperbaiki
urusan hidup umatnya di dunia. Mereka juga memerintahkan yang makruf dan
menjauhi yang munkar. Meskipun begitu, keutamaan yang paling besar adalah
mentauhidkan Allah dan bertaqwa kepada-Nya.
Pada zaman Rasulullah Saw, aqidah bukan
merupakan disiplin ilmu tersendiri, karena masalahnya sangat jelas dan tidak
terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh
beliau. Pada masa ini, saat membicarakan
masalah aqidah maka cakupannya cukup jelas, yaitu tentang tauhid, tentang dien
yang hanif, dien yang lurus, dien yang fithrah (suci), yang Allah telah
menciptakan manusia atas dasar fithrah. Dia selalu ada bersamaan dengan adanya
manusia, sebagaimana diterangkan dalam Al Quran sebagai sumber sejarah yang
kuat dalam surat
Ar Ruum ayat 30, yang berbunyi:
فـَأقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفـًاۚفِطْرَتَ اللـّٰهِ الـَّتِىْ فـَطَرَالنـَّاسَ عَلـَيْهَاۚلاَتـَبْدِيْلَ لِخَلـْقِ اللـّٰهِۚ ذٰ لِكَ الدِّيْنُ الـْقـَيِّمُ وَلٰـكِنَّ أكـْثـَرَالنـَّاسِ لاَيَعْلـَمُوْنَ (الروم : ٣٠)
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah[12] yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar
Ruum: 30)
Pada masa ini, Rasulullah banyak menggunakan
kebanyakan waktunya untuk berdakwah kepada mentauhidkan Allah dengan ibadah dan
taat. Inilah tuntutan laa ilaaha
illallaah dan muhammadar Rasulullah.
Adapun tauhid dalam kebanyakan ayat Al Quran adalah tauhid uluhiyah (yaitu memurnikan semua bentuk ibadah hanya
semata-mata untuk Allah, agar manusia mengetahui bahwasanya mereka hanya
beribadah kepada Allah, sehingga mereka hanya mau tunduk dan taat kepada
perintah-Nya), rububiyah (yaitu
memurnikan hanya kepada Allah dalam menciptakan, memiliki dan mengatur agar
manusia mengakui keagungan Allah atas semua makhluk-Nya), asma’ dan sifat-Nya
(yaitu menetapkan bahwa Allah mempunyai nama-nama baik dan sifat-sifat yang tinggi),
berdakwah kepada ikhlas beribadah dan hanya beribadah kepada Allah, tidak ada
sekutu bagi-Nya serta menetapkan dasar-dasar keyakinan yaitu iman dan Islam.
Terkadang, aqidah juga digunakan istilah ushuluddin (pokok-pokok agama), as sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi
Muhammad), al fiqhul akbar (fiqih
terbesar), ahlus sunnah wal jamaah
(mereka yang menetapi sunnah Nabi Saw dan berjamaah) atau terkadang menggunakan
istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan
Rasulullah Saw dari generasi pertama sampai generasi ketiga yang mendapat
pujian dari Nabi Saw. Ringkasnya, aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut
tauhid, fiqih akbar dan ushuluddin, sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan
salaf.
Namun pada masa pemerintahan khalifah Ali bin
Abi Thalib timbul pemahaman-pemahaman baru dalam aqidah Islamiyah. Beberapa
pemahaman baru ini antara lain:
1.
Rawafidh,
yaitu golongan yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan
mengklaim yang berhak adalah Ali bin Abi Thalib, mengkafirkan sahabat kecuali
beberapa orang saja.
2.
Khawarij, yaitu
golongan yang mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar atau ahli maksiat.
Muncul pertama kali tahun 73 H.
3.
Qadariyah,
yaitu golongan yang meyakini bahwa manusia itu sendirilah yang menciptakan
perbuatannya, sedangkan Allah tidak menetapkan qadar apa-apa.
4.
Murji’ah,
yaitu golongan yang menganggap bahwa amal perbuatan bukan termasuk iman, iman
cukup di hati dan lisan saja tanpa harus diwujudkan dalam amal nyata.
5.
Jahmiyah,
yaitu golongan yang meyakini bahwa Allah yang menentukan baik dan buruknya
perbuatan seseorang, manusia tidak punya kuasa ikhtiar apa-apa.
6.
Mu’tazilah,
mereka meyakini bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan bukan Muslim
tetapi di antara keduanya.
7.
Musyabbihah,
yaitu golongan yang melampaui batas dalam menetapkan sifat-sifat Allah dengan
menyerupakan sifat Allah dengan makhluknya.
8.
Najjariyah, yaitu
golongan yang menyatakan bahwa iman itu hanya mengenal Allah dan merendahkan
diri di hadapan-Nya serta menafikkan sifat-sifat Allah.
9.
Saba’iyah,
yaitu golongan yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sebagai Tuhan
atau yang tidak beranggapan demikian tapi mereka berkeyakinan bahwa Ali berada
di atas awan dan tidak mati.
10.
Qaramithah,
yaitu golongan yang mengatakan bahwa Allah adalah cahaya yang luhur yang
melahirkan para Nabi dan imam, karena itu para imam mengetahui yang ghaib, dan
berkuasa atas apa saja.
Selain golongan-golongan tersebut, masih ada
lagi yang lain, baik berupa paham-paham, Filsafat, bahkan sampai kepada dunia
politik yang mengatasnamakan Islam. Kita mulai kesulitan dalam menemukan aqidah
salafus shalih di antara puing-puing kebobrokan yang ada sekarang ini,
hampir-hampir tidak terlihat. Aqidah tersebut telah lenyap dari otak dan hati,
tanda-tanda keberadaannya telah hilang dan terhapus dari kehidupan manusia,
baik kehidupan individu maupun kelompok, kecuali orang yang dirahmati oleh
Allah, dan mereka ini sedikit sekali. Apa yang tertinggal dalam diri kita
hanyalah seluruh gambaran yang kita lihat dalam halaman kenyataan ini, sebagai
bukti bahwa iman yang benar telah lenyap dari masyarakat kita, dan aqidah
tersebut telah lenyap dari hati, atau minimal telah goyah. Inilah lembaran
sejarah masa kini yang berkisah seraya menangisi kondisi dan keadaan terakhir
umat manusia, yang kegelapannya hampir-hampir melupakan kita dari cahaya yang
pernah kita lihat ketika menyaksikan saat-saat singkat kehidupan dalam era
terbaik dan generasi terbaik umat Islam.
Aqidah yang benar merupakan penggerak utama bagi
amal yang bermanfaat, sehingga penyimpangan dari aqidah yang benar adalah
kehancuran dan kesesatan. Tanpa aqidah yang benar, manusia akan menjadi mangsa
bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lama kelamaan mungkin menumpuk dan
menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan,
sehingga hidupnya terasa sempit. Masyarakat yang tidak dipimpin oleh aqidah
yang benar merupakan masyarakat hewani, yang tidak memiliki prinsip-prinsip
hidup bahagia, sekalipun mereka bergelimang materi yang justru menyeret mereka
pada kehancuran sebagaimana kita lihat pada masyarakat jahiliyah, karena
sesungguhnya kekayaan materi memerlukan pengarahan dalam penggunaannya, dan
tidak ada pemberi arahan yang benar kecuali aqidah yang benar.
Penyimpangan aqidah yang terjadi pada diri
seseorang bisa berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia,
tetapi juga berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akhirat
kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas, penuh dengan keraguan dan
menjadi pribadi yang sakit. Adapun sebab-sebab adanya penyimpangan dari aqidah
yang benar adalah sebagai berikut:
1.
Kebodohan terhadap aqidah yang benar, kebanyakan dari
kita saat ini tidak lagi mau untuk mempelajari aqidah yang benar, sehingga kita
menjadi orang-orang yang tidak mengetahui mana aqidah yang benar, dan juga mana
aqidah yang salah. Hal ini menyebabkan mereka meyakini yang haq sebagai sesuatu
yang bathil dan yang bathil sebagai sesuatu yang haq.
2.
Fanatik kepada sesuatu yang sudah turun temurun dari
orang tua atau nenek moyang kita, bahkan meskipun hal tersebut adalah suatu
kebathilan.
3.
Taqlid buta
terhadap tokoh-tokoh yang dihormati, dengan mengambil pendapat mereka dalam
aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenaran
yang disampaikan orang tersebut terhadap kita. Sehingga apabila mereka sesat,
maka kita juga akan ikut tersesat.
4.
Berlebihan dalam mencintai para wali dan orang-orang
yang shaleh, serta mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya. Sehingga
kita menjadikan mereka sebagai perantara antara Allah dengan makhluk-Nya,
misalnya dengan mengagungkan makam-makam mereka secara berlebihan, berdoa dan
meminta sesuatu di makam-makam mereka dengan melupakan bahwa yang berkuasa atas
segala sesuatu yang kita inginkan adalah Allah.
5.
Lalai terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang ada di
alam raya, dan yang tertuang dalam kitab-kitab suci Allah. Kita bahkan terbuai
dengan segala hasil teknologi dan kebudayaan, dan mengagungkan teknologi
tesebut sebagai hasil kerja keras manusia, dan tidak melihat adanya kebesaran
Allah di belakang mereka.
6.
Para orang tua yang
tidak lagi memberikan pengarahan yang benar terhadap anak-anaknya untuk
berjalan di jalan yang diridhai oleh Allah.
7.
Media pendidikan dan media informasi yang tidak lagi
peduli terhadap kebenaran akan ajaran Allah. Bahkan untuk media informasi yang
ada saat ini, ada kecenderungan bahwa mereka justru semakin merusak aqidah yang
ada dalam tatanan masyarakat dengan berbagai informasi yang diberikan yang
tidak lagi disaring mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diberikan
kepada masyarakat.
Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan
menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut di atas, kecuali
dengan mendalami, memahami dan mengaplikasikan aqidah Islamiyah yang shahih
agar hidup kita dapat berjalan sesuai kehendak Illahi, demi kebahagiaan kita
baik di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman dalam surat An Nisa' ayat 69 dan An Nahl ayat 97:
وَمَنْ يُطِعِ اللـّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فـَأوْلٰـٓٮٕكَ مَعَ الـَّذِيْنَ أنـْعَمَ اللـّٰهُ عَلـَيْهِمْ مِّنَ النـَّبـِيِّـۧـنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشـُّهَدَآءِوَالصَّـٰـلِحِيْنَ ۚوَحَسُنَ أوْلٰـٓٮٕكَ رَفِيْقـًا (النسآء : ٦٩)
Artinya : “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahkan
nikmat Allah, yaitu: Nabi-Nabi, para Shiddiqin[13], orang-orang yang
mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa': 69)
مَنْ عَمِلَ صٰلِحًامِنْ ذَكَرٍأَوْأُنْثٰى وَهُوَمُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيٰوةًطَيِّبَةًۚوَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأْحْسَنِ مَاكَانُوْايَعْمَلُوْنَ (النحل : ٩٧)
Artinya : “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih
baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[14] dan sesungguhnya
akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)
Dengan adanya beberapa penyimpangan terhadap
aqidah yang sudah disebutkan di atas, dan juga sebab-sebab yang menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan terhadap aqidah itu sendiri, maka diperlukan
pemahaman tentang bagaimana menanggulangi penyimpangan-penyimpangan terhadap aqidah
yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Kita harus kembali kepada pegangan yang sudah
diwariskan oleh Rasulullah kepada kita, yaitu Al Quran dan sunnah Rasulullah,
karena dua hal tersebut terbukti mampu untuk memperbaiki kehidupan bangsa Arab
yang jahiliyah menuju ke masa kejayaan, tidak saja dalam hidup mereka di dunia,
tapi juga di akhirat.
2.
Selain dengan berpegang teguh kepada Al Quran dan Al
Hadits, kita juga harus mau untuk mempelajari dan mengkaji aqidah
golongan-golongan yang sesat. Hal ini akan menjadikan kita lebih waspada saat
kita menemukan suatu aqidah yang tidak sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits,
sehingga kita tidak akan terperosok ke dalamnya.
3.
Memberikan perhatian yang cukup terhadap aqidah-aqidah
yang benar dalam pelajaran-pelajaran di sekolah, dan mengadakan evaluasi yang
tepat dalam memberikan materi tersebut kepada siswa.
4.
Menyebarkan para dai untuk meluruskan aqidah Islam yang
benar dan menjawab serta menolak seluruh aqidah yang bathil.
Dengan adanya beberapa cara untuk menanggulangi
adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap aqidah yang benar, maka diharapkan
kita mampu berjalan kembali di jalan yang lurus.
Aqidah Islam merupakan aqidah yang begitu
istimewa, hal ini bisa kita lihat dari tanda-tandanya sebagai berikut:
1. Sumbernya
murni, karena bersumber kepada kitab Allah, sunnah Rasul dan ijma’ orang-orang
salaf serta ucapannya.
2. Berdiri
di atas dasar menyerahkan semuanya kepada Allah dan Rasul-Nya, karena masalah
aqidah adalah ghaib dan urusan ghaib hendaknya didasarkan kepada Allah dan
Rasul-Nya.
3. Sesuai
dengan fithrah yang lurus dan akal yang sehat karena aqidah ini mengikuti
petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
4. Bersambung
sanadnya kepada Rasulullah, para sahabat, tabi’in
dan imam-imam pembawa petunjuk baik perkataan, perbuatan, ilmu dan keyakinan.
5. Terang
dan jelas, karena sumbernya dari Allah, Rasul-Nya dan salaful ummah. Bersih
dari kegoncangan, perselisihan, pertentangan dan samar-samar serta bersih dari
Filsafat.
Karena aqidah Islamiyah bersumber dari Allah
yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan Filsafat
yang merupakan karya manusia, tentu banyak kelemahannya. Manfaat yang kita
peroleh dari mempelajari aqidah Islamiyah antara lain:
1.
Membebaskan kita dari ubudiyah/penghambaan kepada
selain Allah, baik bentuknya menghamba kepada kekuasaan, harta, pimpinan maupun
yang lainnya.
2.
Membentuk pribadi yang seimbang, yaitu selalu taat
kepada Allah, baik dalam keadaan suka maupun duka.
3.
Kita akan merasa aman dari berbagai macam rasa takut
dan cemas, takut kepada kurang rezeki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan
seluruh manusia, termasuk takut kepada kematian. Sehingga dia penuh tawakal
kepada Allah.
4.
Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa, sekokoh gunung.
Aqidah hanya berharap kepada Allah dari ridha terhadap segala ketentuan Allah.
5.
Aqidah Islamiyah berdasarkan kepada asas ukhuwah (persaudaraan) dan persamaan,
tidak membedakan antara miskin dan kaya, antara pejabat dan rakyat jelata,
antara kulit putih dan hitam, dan antara orang Arab dan bukan Arab, kecuali
kadar ketakwaan kita di sisi Allah SWT.
Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan
mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti
Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal Imam Syafi’i
hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh ahlus
sunnah wal jamaah dengan multi keahlian. Karena itu, ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembaharu) pada abad
kedua Hijriah. (Siar A’lam, 10/5-6; 46 dan Tadzkiratul
Huffazh, 1/361)
Dalam hal aqidah, Imam Syafi’i memiliki wasiat
yang berharga. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al Baldani berkata: “Inilah Imam
Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah anda bersaksi bahwa
tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu
bagi-Nya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdullah adalah hamba dan Rasul-Nya.
Kami tidak membedakan para Rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata, Tuhan semesta
alam yang tiada bersekutu dengan sesuatupun. Untuk itulah aku diperintah, dan
saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepada-Nya. Sesungguhnya
Allah membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya surga itu haq, azab
neraka itu haq, hisab itu haq, dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan
benar adanya. Allah SWT membalas hamba-hamba-Nya sesuai dengan amal
perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi
insya Allah. Sesungguhnya Al Quran itu kalam Allah, bukan makhluk ciptaan-Nya.
Sesungguhnya Allah di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin
dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka
mendengar firman-Nya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir,
baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Agung. Tidak
terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’
dan qadar-nya.
Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda
Rasul Saw adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ra. Aku mencintai dan setia
kepada mereka, dan memohon ampun mereka, bagi pengikut perang Jamal dan
Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami
setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al Quran dan As Sunnah)
selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh membangkang serta memberontak
kepada mereka dengan senjata. Kekhalifahan (kepemimpinan) berada di tangan
orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka
sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram.
Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada
Allah, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah Saw dan para
sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan
hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Allah sejauh yang engkau mampu. Ikutilah
shalat Jumat, jamaah dan sunnah (Rasul). Berimanlah dan pelajarilah agama ini.
Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syarikalahu
wa anna muhammadan ‘abduhu warasuluh.”
Di antara yang diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu
Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah, ‘Aku tidak mengkafirkan seseorang
dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku
serahkan mereka kepada Allah Azza wa Jalla dan kepada takdir serta iradah-Nya,
baik atau buruknya, keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari
Allah SWT, siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang
dikehendaki-Nya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah SWT tidak ridha
dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia
memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang dari umat
Muhammad masuk surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmat-Nya). Dan
orang jahat masuk neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan
makhluk berdasarkan keinginan dan kehendak-Nya, maka segala sesuatu dimudahkan
bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam Hadits (riwayat
Al Bukhari, Muslim dan lainnya).
Aku mengakui hak salaf yang dipilih oleh Allah
SWT untuk menyertai Nabi-Nya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari
apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar
maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman,
kemudian Ali ra. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku,
bahwa Al Quran adalah kalamullah yang diturunkan bukan makhluk yang diciptakan.
Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazkan Al Quran
apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang
mengalami pasang dan surut. (Al Amru bil
Ittaba’, As Suyuthi, hal 152-154, tahqiq
Mustofa Asyur, ijtima’ul Juyusyil
Islamiyah, Ibnul Qayyim, 165)
Kesimpulan dari wasiat di atas adalah:
1.
Aqidah Imam Syafi’i adalah ahlus sunnah wal jamaah.
2.
Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al Quran, As Sunnah.
Beliau pernah mengucapkan: “Sebuah
ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar)
kitabullah atau sunnah Rasul-Nya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan
Al Kitab dan As Sunnah maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya).
Wallahu a’lam.” (Manaqibusy Syafi’i
1/470 & 475)
3.
Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah
dan Rasul-Nya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Allah bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan
lain sebagainya.
4.
Dalam hal sifat-sifat Imam Syafi’i mengimani makna
lahirnya lafazh tanpa takwil
(meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil
(membelokkan maknanya). Beliau berkata “Hadits itu berdasarkan lahirnya.
Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip
dengan lahirnya itu yang lebih utama.” (Al
Mizanul Kubra, 1/60, Ijma’ Juyusy,
95)
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat
Allah yang harus diimani, maka beliau menjawab, “Allah memiliki nama-nama dan
sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitab-Nya dan dijelaskan oleh Nabi-Nya
kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan)
sampai kepadanya karena Al Quran turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat
itu. Maka barang siapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah
kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan
sifat-sifat Allah) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Allah
memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini”
(dua tangan), dengan firman-Nya: “Tetapi
kedua tangan Allah terbuka” (QS. Al Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan
firman-Nya: “Tiap-tiap sesuatu pasti
binasa, kecuali wajah-Nya.” (QS. Al Qashash: 88).” (Manaqib Asy Syafi’i, Baihaqi,
1/412-413; Ushull’tiqad Ahlis Sunnah, Al
Lalikai, 2/702; Siar A’lam An Nubala, 10/79-80;
Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Ibnu Qayyim, 94)
5.
Kata-kata “As Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam
Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama,
adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah (berarti lawan
dari bid’ah). Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan
dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu
tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu juga sebaliknya. Imam Syafi’i berkata:
“Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam
samudera ketika ombak sedang menggunung.” (Al
Mizanul Kubra, Asy Sya’rani, 1/60). Ketiga,
As Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari
Rasulullah selain Al Quran.
6.
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan
sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat, “Ikutilah Ahlul Hadits,
karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Al Adab Asy Syar’iyah, Ibnu Muflih,
1/231). “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” (Al Mizanul Kubra, 1/60).
Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh
Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i
sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashabul Hadits, imam Ahli Hadits.” (Al Majmu’, 1/10).
Itulah beberapa wasiat Imam Syafi’i tentang
aqidah Islamiyah, semoga hal tersebut bisa kita jadikan pelajaran dalam
kehidupan kita.
BAB IV
Dari pembahasan tentang aqidah Islam dan
komponen-komponennya, penyusun mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Iman
merupakan suatu kepercayaan yang menjadi dasar dalam aqidah Islamiyah, dan
dalam pelaksanaan kepercayaan tersebut, maka sudah pasti kita harus beragama
Islam, dalam artian bahwa iman dan Islam merupakan dua hal yang tidak bisa
dipisah-pisahkan. Setiap orang Islam haruslah memiliki kepercayaan terlebih
dahulu agar dia mau dengan ikhlas dalam menjalankan setiap perintah-perintah-Nya,
dan setiap orang yang beriman maka dia haruslah menjadi orang Islam agar
pengabdiannya kepada Allah lengkap. Sekedar percaya saja, tanpa menjalankan
syariat-syariat agama Islam sama saja bohong.
2. Beriman
kepada Allah berarti kita mempercayai akan adanya Allah, kita juga harus
mengetahui sifat-sifat Allah. Dengan begitu, maka dalam melakukan segala hal,
kita akan selalu berhati-hati dan waspada, karena kita tahu dengan sifat-sifat
yang dimiliki oleh Allah, maka Allah akan selalu melihat, mendengar dan juga
mencatat setiap perbuatan yang kita lakukan. Oleh karena itu, dengan beriman
kepada Allah, kita akan selalu mengerjakan perintah-perintah-Nya, menjauhi
segala larangan-Nya.
3. Beriman
kepada malaikat Allah berarti kita mempercayai bahwa malaikat itu merupakan
makhluk Allah yang sangat taat dalam menjalankan perintah-perintah-Nya. Kita
juga harus mengetahui nama-nama malaikat serta fungsi dan tugasnya
masing-masing. Dengan begitu, kita tahu bahwa dalam kehidupan kita, kita selalu
dijaga oleh malaikat, kita selalu diikuti oleh malaikat, dan beberapa dari
mereka selalu rajin mencatat apa yang kita lakukan, baik maupun jelek.
4. Beriman
kepada kitab-kitab Allah berarti kita mempercayai bahwa Allah telah menurunkan
beberapa kitab kepada Nabi dan Rasul-Nya, sebagai petunjuk untuk mengerjakan
amalan-amalan di dunia. Dengan beriman kepada kitab Allah, kita akan memiliki
keyakinan yang kuat dalam menjalankan setiap perbuatan kita di dunia, karena
kita memiliki pedoman dan landasan dalam menjalankan perbuatan kita.
5. Beriman
kepada Rasul-Rasul Allah berarti bahwa kita mempercayai bahwa Allah telah
menurunkan manusia-manusia pilihan yang berbudi pekerti mulia untuk menuntun
manusia dalam melakukan setiap perbuatan mereka, yang mengajarkan kepada mereka
tentang tauhid, tentang akhlak, sejarah dan lain sebagainya. Dengan beriman
kepada Rasul Allah, maka kita haruslah melakukan setiap perbuatan yang kita
lakukan ini sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh para Rasul Allah
tersebut. Dan sebagai umatnya Nabi Muhammad, maka kita sudah seharusnya juga
berusaha sedapat mungkin untuk melakukan perilaku sesuai dengan tuntutan
Rasulullah.
6. Beriman
kepada hari kiamat berarti bahwa kita percaya bahwa suatu saat alam beserta
segala isinya ini akan hancur, dan hanya Allah yang masih kekal, dan setelah
kehancuran seluruh alam ini, kita akan dibangkitkan untuk kemudian
mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan kita selama berada di dunia.
Dengan beriman kepada hari kiamat, kita akan semakin yakin akan kekuasaan Allah
terhadap ciptaan-Nya, dan kita juga akan semakin terpecut untuk selalu
melakukan perbuatan-perbuatan yang diridhaiNya, dan menjauhi setiap perbuatan
yang dilarangNya.
7. Beriman
kepada takdir Allah berarti kita mempercayai bahwa segala sesuatu yang ada di
dunia ini, berjalan dengan begitu teratur karena kehendak-Nya. Dengan beriman
kepada takdir Allah, diharapkan bahwa kita akan tidak cepat berputus asa, kita
juga diharapkan akan semakin giat dalam melakukan usaha, ikhtiar yang disertai
dengan doa dalam menjalankan setiap usaha kita, karena meskipun semua hal sudah
menjadi takdir Allah, tapi ada beberapa hal yang masih bisa dirubah oleh Allah
jika kita meminta kepada-Nya.
8. Sejak
jaman Rasulullah hingga saat ini, aqidah Islamiyah sudah berkembang dengan
begitu luas. Beberapa orang masih tetap kuat dalam menjalankan aqidah tersebut,
dengan terus melakukan perbuatan-perbuatan yang memang terdapat dalam Al Quran
dan Al Hadits. Sedangkan beberapa orang yang lain, karena suatu hal, mereka
mulai terkikis aqidahnya, sehingga beberapa dari mereka memutuskan untuk
mengikuti aqidah yang mereka yakini benar, tapi tidak selalu berjalan sesuai
dengan Al Quran dan Al Hadits.
9. Jika
manusia mulai menyimpang dalam menjalankan aqidah mereka, jika mereka salah
dalam mempercayai sesuatu, maka hal tersebut akan berakibat kesengsaraan pada
kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebabkan karena mereka
akan selalu dipenuhi dengan keragu-raguan, mereka akan berjalan tanpa arah yang
jelas, mereka tidak lagi memiliki pedoman yang benar dan kuat dalam menjalankan
kehidupan mereka, yang tentunya hal tersebut sangat berbahaya.
10. Dalam
menyikapi adanya penyimpangan terhadap aqidah tersebut, maka kembali kepada Al
Quran dan Al Hadits merupakan satu-satunya cara agar kehidupan kita kembali ke
jalan yang lurus, ke jalan yang benar, jalan yang diridhai oleh Allah. Kita
juga harus mengetahui mana aqidah yang benar dan mana yang sesat agar kita
tidak terperosok masuk ke dalam aqidah yang tidak sesuai dengan Allah dan
Rasul-Nya.
11. Aqidah
Islam merupakan aqidah yang istimewa, karena sumbernya berasal dari Allah. Oleh
karena itu, aqidah Islam adalah aqidah yang kesempurnaannya tidak perlu
diragukan lagi, karena Islam adalah aqidah, dan bukan Filsafat yang diciptakan
oleh manusia sehingga memiliki banyak kelemahan.
12. Dengan
mempelajari aqidah Islamiyah, kita akan terhindar dari perbuatan penghambaan
kepada selain Allah, selain kita juga akan merasa tenang karena kita yakin
bahwa Allah akan selalu bersama kita. Aqidah Islamiyah juga bukan ajaran yang
mengkotak-kotakkan manusia ke dalam tingkatan-tingkatan tertentu, karena dalam
aqidah Islam, orang yang paling tinggi derajatnya di hadapan Allah bukanlah
orang yang paling kaya, paling tampan, paling pandai, paling putih kulitnya,
tapi orang yang paling tinggi derajatnya di hadapan Allah adalah mereka yang
memiliki tingkat ketakwaan tertinggi di antara sesamanya.
13. Salah
satu imam besar Islam, yaitu Imam Syafi’i, memberikan wasiat tentang aqidah
Islamiyah, di mana hal yang paling pokok dan utama adalah dengan menekankan
tauhid, yaitu kita yakin bahwa tidak ada Tuhan kecuali hanyalah Allah Yang Esa.
Dari pembahasan yang penyusun paparkan di atas,
penyusun mengambil pendapat bahwa negara Indonesia, yang mengakui adanya lima
agama yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, telah terbukti secara nyata memiliki
dasar yang menyimpang dengan aqidah Islamiyah. Meskipun jelas bahwa negara Indonesia
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi ke-Esa-an Tuhan di sini juga
masih harus dipertanyakan. Dalam Islam, sudah jelas, bahwa dengan keyakinan
yang pasti bahwa adanya ke-Esa-an Allah yang mutlak, maka tidak ada Tuhan yang
lain selain Allah. Oleh karena itu, jika negara Indonesia menghendaki aqidah
Islamiyah yang benar, maka sudah seharusnya dilakukan perubahan terhadap dasar
negara kita dengan hanya mencantumkan aqidah Islamiyah sebagai satu-satunya
aqidah yang berlaku di Indonesia.
Anonim, 1990, Al Quran dan Terjemahannya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al
Mush-haf Asy Syarif, Medinah Munawwarah
Ibrahim, Najih, Dr., dkk., 2005, Mitsaq Amal Islami, Panduan Bagi Gerakan
Islam dalam Memperjuangkan Islam, Pustaka Al 'Alaq, Solo.
Matdawam, M.N., Drs., 1989, Pembinaan dan Pemantapan Dasar Agama, Yayasan
“Bina Karier”, Yogyakarta.
Sauri, Sofyan, Dr., H., 2004, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Alfabeta, Bandung.
Shalih bin Fauzan bin Abdullah
al-Fauzan, Dr., 2004, Edisi Indonesia: Kitab
Tauhid 1, Darul Haq, Jakarta.
Suryana Af, A.T., Drs., M.Pd.,
dkk., 1997, Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi, Tiga Mutiara, Bandung.
Tim penyusun Pustaka Al Wustho,
1994, Bekal Da’i Aktivis Muslim, Pustaka
Al Wustho, Solo.
[1]
Thaghut ialah syetan dan apa saja
yang disembah selain dari Allah SWT. (Anonim, Al Quran dan Terjemahannya,
hal.63)
[2] Ditekankan dalam
ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama
dan bahwa amal saleh harus disertai iman. (Anonim, Al Quran dan Terjemahannya,
hal. 417)
[3] Drs. M. Noor Matdawam, Pembinaan dan
Pemantapan Dasar Agama, hal. 49
[4]
Drs. M. Noor Matdawam, loc. cit.
[5] Dimaksud wajib di sini adalah wajib akal, dengan
pengertian, akal manusia wajib meng’itiqadkan bahwa Allah SWT bersifat seperti dengan
sifat-sifat yang diuraikan di bawah ini. (Drs. M. Noor Matdawam, Pembinaan dan
Pemantapan Dasar Agama, hal. 66)
[6]
Bedanya Esa dengan satu. Esa: khusus kepada Allah, artinya satu-Nya Allah itu
tidak ada yang menyerupai Dia. Kalau satu: umum kepada apa saja, contoh:
makalah ini satu, tapi di tempat lain ada makalah yang serupa dengan makalah
ini, satu tapi banyak yang sama. (Drs. M. Noor Matdawam, Pembinaan dan
Pemantapan Dasar Agama, hal. 74)
[7]
Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan
keistimewaan Nabi Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah
sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan
Jibril. Dalam pada itu Nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung
dengan Allah pada malam hari di waktu mi'raj. (Anonim, Al Quran dan
Terjemahannya, hal. 151)
[8]
Termasuk juga orang yang matinya tanpa kuburan, seperti mati tenggelam,
kebakaran, dimakan binatang buas dan sebagainya. (Drs. M. Noor Matdawam,
Pembinaan dan Pemantapan Dasar Agama, hal. 87)
[9]
Drs. M. Noor Matdawam, Pembinaan dan Pemantapan Dasar Agama, hal. 140
[10]
ibid.
[11]
Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka, selama mereka
tidak merubah sebab-sebab kemunduran mereka. (Anonim, Al Quran dan
Terjemahannya, hal. 370)
[12] Fitrah
Allah: maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal
itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan. (Anonim, Al Quran dan Terjemahannya, hal. 645)
[13]
ialah: orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada
kebenaran Rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana
yang tersebut dalam surat
Al Fatihah ayat 7. (Anonim, Al Quran dan Terjemahannya, hal. 130)
[14]
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan
dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
(Anonim, Al Quran dan Terjemahannya, hal. 417)
0 komentar:
Posting Komentar